Oleh: Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Bagaimana kira-kira wajah partai politik di parlemen hasil dari pemilu 2009 ini? Apakah pemilu kali ini dapat melahirkan wakil rakyat sebagai anti tesis parlemen hasil pemilu 2004, atau terjadi repetisi perilaku parlemen dari parlemen-parlemen periode sebelumnya?
Secara ringkas, tulisan berikut ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas. Tulisan dimulai dengan memetakan berbagai pandangan atas pertanyaan tersebut. Setelah itu, tulisan kemudian berusaha melihat kemungkinan terbesar wajah parlemen hasil pemilu 2009 ini dengan melihat sejumlah faktor pembentuknya. Beberapa faktor yang akan mempengaruhi wajah parlemen kedepan meliputi pemanfaatan peluang sistem pemilu, besaran biaya politik, motivasi berpolitik, dan tipe aktivis partai yang terpilih. Beberapa faktor tersebut secara simultan maupun terpisah akan mempengaruhi rona wajah parlemen.
Tiga Posisi
Menjawab pertanyaan tentang wajah parlemen kedepan, terdapat beberapa posisi pendapat yang dapat diletakkan sebagai sebuah spektrum. Pertama, kelompok nihilis-pesimistik. Kelompok ini melihat bahwa demokrasi presedural dengan biaya yang sangat mahal ini tidak akan membawa perubahan sama sekali terhadap wajah partai politik di parlemen. Kalaupun terjadi perbaikan masih sangat minimal. Pemilu kali ini kemungkinan hanya akan mengubah pemain politik tetapi tidak mengubah sama sekali substansi berpolitik. Rona politik parlemen masih akan tetap dipenuhi dengan berbagai kasus korupsi dan akrobat politik untuk sekedar berburu kekuasaan semata. Parlemen masih belum dapat atau bahkan sampai kapan pun tidak akan pernah berpihak kepada rakyat.
Kedua, kelompok optimistik. Kelompok ini melihat bahwa berbagai perubahan yang terjadi dalam proses rekruitmen elit dan lingkungan politik menjadikan parlemen akan dapat berperan lebih baik dibandingkan parlemen pada periode sebelumnya. Pada proses rekruitmen elit, kelompok ini melihat bahwa aturan main dalam pemilu memungkinkan terpilihnya wakil rakyat yang berpihak kepada rakyat. Dengan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak maka hanya mereka yang benar-benar dipercaya rakyat yang akan terpilih. Dalam nalar yang linier, mereka yang terpilih ini sudah pasti akan memiliki sensitivitas yang tinggi dengan kepentingan konstituen yang diwakilinya. Perubahan lingkungan politik semakin ‘memaksa’ wakil rakyat terpilih untuk berbuat lebih baik. Tingginya komitmen pemberantasa korupsi oleh KPK dan semakin tinginya partisipasi publik dalam politik keseharian (daily politics) memaksa parlemen untuk bekerja sesuai harapan rakyat.
Terakhir, kelompok kritis. Kelompok ini melihat bahwa peluang parlemen hasil pemilu 2009 untuk menjadi lebih baik dan menjadi lebih buruk berada pada probabilitas yang sama. Peluang mana yang lebih besar akan terjadi sangat tergantung sejauhmana sejumlah faktor bekerja mempengaruhi parlemen yang akan terbentuk. Apabila sejumlah faktor positif dapat diketemukan dalam tubuh parlemen yang akan terbentuk maka rona wajah parlemen yang lebih baik dari parlemen berikutnya akan terjadi. Sebaliknya, rona wajah parlemen ke depan akan dapat menjadi lebih buruk apabila sejumlah faktor negatif bersarang kepadanya.
Beberapa Faktor Pengaruh
Bagi penulis, peluang parlemen kedepan akan lebih baik atau lebih buruk tergantung pada sejumlah hal yang menyelimutinya. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang akan mempengaruhi kinerja parlemen kedepan, yaitu sejauhmana pemanfaatan peluang sistem pemilu dimanfaatkan secara baik oleh rakyat untuk memilih wakil yang berkualitas, besaran biaya politik, motivasi berpolitik, dan tipe aktivis partai yang terpilih. Beberapa faktor tersebut secara simultan maupun terpisah akan mempengaruhi rona wajah parlemen.
Pertama, pemanfaatan peluang sistem pemilu untuk mendapatkan wakil rakyat yang berkualitas. Satu modal dasar yang tidak dimiliki oleh parlemen sebelumnya dibandingkan parlemen hasil pemilu 2009 adalah wakil rakyat yang nantinya terpilih adalah wakil rakyat yang benar-benar pilihan rakyat. Pada parlemen periode sebelumnya, hampir 100 persen wakil rakyat terpilih adalah wakil pilihan partai politik. Hal ini karena penetapan calon terpilih pada parlemen sebelumnya berdasarkan sistem nomor urut bersyarat.[1] Sedangkan pada parlemen hasil pemilu 2009 wakil rakyat terpilih adalah berdasarkan sistem suara terbanyak. Mereka yang mendapatkan suara terbanyak dari partai yang memperoleh kursi di parlemen akan ditetapkan sebagai anggota parlemen meskipun berada pada nomor urut besar/bawah.
Modal dasar tersebut dapat menjadi faktor positif bagi parlemen kedepan asalkan rakyat dapat memilih secara tepat. Apabila rakyat dapat memilih calon yang memiliki rekam jejak yang positif dan memiliki kapabilitas yang mumpuni kita dapat berharap terbentuknya parlemen yang memberikan harapan. Sebaliknya, apabila rakyat tidak dapat menentukan pilihannya secara tepat atau masih ‘asal pilih’ maka modal dasar tersebut menjadi tidak bermakna apa-apa. Wajah parlemen tidak akan banyak berubah.
Dengan kata lain, jika pada periode sebelumnya wajah parlemen yang buruk sepenuhnya menjadi ‘dosa’ partai politik maka tidak demikian dengan saat ini. Pada pemilu kali ini, rakyat bersama partai politik memiliki saham ‘dosa’ apabila terpilih wakil rakyat yang tidak berpihak kepada mereka. Hal ini karena rakyat dalam pemilu ini memiliki kuasa untuk memilih orang-orang terbaik yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan mereka.
Kedua, besaran biaya politik. Kompetisi elektoral dalam pemilu kali ini berlangsung sangat ketat. Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak menjadikan rivalitas tidak hanya terjadi di inter-partai politik tetapi juga intra-partai politik. Masing-masing kandidat sekarang memiliki posisi sejajar untuk dapat memenangkan kompetisi.
Ditengah rivalitas yang kompetitif itu berbagai cara kemudian berusaha ditempuh kandidat untuk dapat mengakumulasi suara pemilih sebanyak-banyaknya. Salah satunya adalah dengan membelanjakan secara berlebihan atau tidak terbatas sumberdaya finansial yang dimilikinya. Untuk kursi parlemen nasional, ratusan hingga milyaran rupiah dipersiapkan untuk mengawal kemenangan seorang kandidat. Akibatnya kampanye kali ini memakan biaya produksi yang sangat tinggi.
Di sini titik kritisnya. Biaya produksi yang tinggi dalam jangka panjang menjadi struktur pemaksa terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi akan kembali terjadi. Bahkan, besaran dan intensitasnya akan semakin tinggi. Kandidat terpilih tidak hanya akan mengejar break event point tetapi juga mencari dana untuk persiapan pemilu berikutnya.
Bila itu yang terjadi maka wajah parlemen kita tidak akan banyak bergeser dari posisi sebelumnya. Kasus korupsi akan semakin marak. Kalaupun nanti pengungkapan kasus korupsi yang terjadi di parlemen tidak semarak saat ini bukan berarti korupsi di dewan mengalami penurunan. Besaran dan intensitasnya justru akan semakin tinggi resiko dari biaya politik yang tinggi dalam pencalonan mereka.
Ketiga, motif berpolitik. Motif berpolitik dapat menentukan wajah parlemen ke depan. Motif yang tidak tepat akan semakin memperburuk kinerja parlemen. Sebaliknya, motif yang benar dapat menjadi pendorong meningkatnya kualitas kerja parlemen.
Motif utama aktivis partai masuk dalam kandidasi dapat dipilah ke dalam beberapa motif.[2] Pertama, insentif material (Material Incentives). Insentif ini meliputi motif mencari perlindungan (patronage), menjadi pejabat yang dipilih (elected office), dan naik pangkat atau memperoleh kedudukan yang lebih tinggi (preferment).
Kedua, insentif solidaritas (Solidarity/Social Incentives), yaitu mencari kehidupan sosial baru dari yang selama ini mereka miliki. Ketiga, insentif idealisme (Purposive/Issued-Based Insentives), yaitu keinginan untuk memperjuangkan sesuatu yang bersifat ideal. Terakhir, Insentif campuran (Mix Incentives), yaitu pembauran beberapa insentif yang telah disebutkan sebelumnya menjadi saling bertautan.
Pada politikus yang berpolitik karena insentif material dan campuran cenderung menjadikan parlemen dalam situasi ‘bahaya’. Kekuasaan yang dimiliki parlemen dapat menjadi senjata yang berbahaya. Bukanya kepentingan rakyat yang diperjuangkan, justru rakyat menjadi korban atas kehadiran mereka.
Sementara itu, pada politikus yang digerakkan oleh insentif solidaritas/sosial menjadikan parlemen dalam langgam yang stagnan. Tidak banyak inovasi yang dilahirkan. Sedangkan pada parlemen yang diisi oleh politikus dengan insentif idealisme menjadikan arah parlemen bergerak secara progresif. Disini, parlemen benarbenar dapat menjadi rumah rakyat.
Terakhir, tipe aktivis partai. Tipe aktivis partai yang menjadi angota parlemen juga turut mempengaruhi kualitas parlemen. Secara kategoris, tipe aktivis partai dapat dipilah menjadi profesional dan amatir.[3] Karakteristik dari politikus profesional adalah mereka secara tradisional adalah pekerja partai, memberikan loyalitasnya kepada partai, dan gaya berpolitiknya sangat pragmatis.
Berkebalikan dengan politikus profesional, pada politikus amatir sangat berorientasi pada issu, aktivitas partai hanya sebagai alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik, dan sangat idealis. Politikus amatir cenderung berusaha melakukan perubahan-perubahan dalam partai maupun lingkungan sistem politik yang lebih besar. Politikus ini cenderung ‘memberontak’ apabila mereka melihat kondisi yang tidak sesuai dengan idealisme yang mereka perjuangkan.
Hubungannya dengan kinerja parlemen, pada tipe profesional kinerja parlemen cenderung stagnan. Mereka tidak cukup responsif dengan berbagai persoalan yang melilit masyarakat. Sementara itu, pada tipe amatir dinamika parlemen menjadi lebih dinamis. Parlemen akan menjadi lebih hidup dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Penutup
Dari beberapa faktor tersebut diatas baik secara simultan maupun berdiri sendiri akan mempengaruhi derajat kualitas parlemen. Semakin banyak faktor negatif yang bekerja dalam parlemen yang akan terbentuk maka semakin kecil peluang parlemen untuk dapat menjadi tempat rakyat menaruh harapan perubahan. Sebaliknya, semakin banyak faktor positif yang bekerja di parlemen akan semakin besar peluang peingkatan kinerja parlemen yang akan terbentuk.
Sebagai penilaian awal, tampaknya banyak faktor negatif yang akan bekerja diparlemen kedepan. Beberapa indikasi dapat dilihat diantaranya rakyat belum memanfaatkan secara baik peluang untuk memilih wakil rakyat yang berkualitas. Karena lemahnya pendidikan politik dan keterbatasan informasi rakyat mengalami kebingungan dengan siapa yang akan mereka pilih. Kinerja parlemen juga akan diperburuk dengan biaya politik tinggi ketika kampaye yang akan menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang lebih besar. Seperti diungkapkan oleh banyak media massa bahwasanya ratusan hingga milyaran rupiah dipersiapkan oleh kandidat untuk dapat menang pemilu. Pertanyaannya, apakah mereka rela membuang uang mereka begitu saja?. Terakhir, hampir sebagian besar motif berpolitik politikus adalah digerakkan oleh insentif yang bersifat material. Hal ini terbukti dengan maraknya politikus dadakan yang sebenarnya mereka tidak memiliki basis sosial dan finansial yang memadai untuk terlibat dalam kompetisi elektoral. Dengan demikian, kedepan kita tidak dapat berharap terlalu banyak kepada parlemen. Kalupun berusaha optimis, perlu kerja keras untuk mengawal kinerja parlemen agar sesuai dengan harapan rakyat.***
BACAAN
Hershey, Marjorie Randon, Party Politics in Amerika, Longman, New York, 2003, hal. 83-88.
Beck, Paul Allen dan Frank J. Sorauf, Party Politics in America, Harper Collins Publishers, New York, 1992, hal. 130-132
[1] Pada parlemen hasil pemilu 2004, penetapan calon terpilih anggota parlemen adalah sepenuhnya berdasarkan nomor urut kecuali yang bersangkutan memperoleh 100% Bilangan Pembagi Pemilih. Dengan aturan itu, hanya terdapat 2 (dua) orang yang mendapat 100% BPP, yaitu Hidayat Nurwahid dari PKS (Dapil Jakarta) dan Saleh Djasit dari Partai Golkar (Dapil Riau). Dari kedua orang tersebut, Saleh Djasit kemudian menjadi tersangka kasus korupsi dan mendapat hukuman 4 tahun penjara.
[2] Lihat Marjorie Randon Hershey, Party Politics in Amerika, Longman, New York, 2003, hal. 83-88.
[3] Lihat Paul Allen Beck dan Frank J. Sorauf, Party Politics in America, Harper Collins Publishers, New York, 1992, hal. 130-132
Nice article.
Tatiana Charney
June 20th, 2010
Salam dari bapak………
Cornelis Lay
July 6th, 2010
Tatiana: Thank u
CL: salam kembali dari bapak, eh3.desertasinya ditunggu rakyat indonesia
admin
July 7th, 2010
Lebih baik kita memperjuangkan wujudnya Demokrasi Tanpa Partai. Republik Islam Iran menerapkan sistem tanpa partai. Dan solusi ini cocok untuk diterapkan dengan berbagai manfaatnya.
Indonesia berada pada lingkaran setan dengan partai berada di titik pusatnya. Kita hapuskan titik pusatnya maka Indonesia pun terbebas dari lingkaran setan.
Demokrasi Tanpa Partai
July 24th, 2010
Tatiana: Thank uCL: salam kembali dari bapak, eh3.desertasinya ditunggu rakyat indonesia
+1
Best Remortgage
October 1st, 2010