Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh : Sigit Pamungkas

Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Hampir di semua negara demokrasi terlihat situasi politik kepartaian yang berlawanan. Satu sisi masyarakat bebas mengekspresikan keinginannya dan  memiliki konsensus besar bagi legitimasi  demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, di sisi  yang lain masyarakat mempertanyakan eksistensi partai politik sebagai penyokong utama demokrasi.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, istilah  ’krisis partai’ telah menjadi begitu terkenal untuk menggambarkan kepercayaan yang rendah terhadap partai politik, dan biasanya bersamaan pula dengan kecaman terhadap institusi demokrasi lain, termasuk pemerintah, legislatif dan, lebih besar, elit politik atau politisi. Sementara itu, tahun 1992 istilah parteinverdrossenheit adalah ’perkataan tahun itu’ di Jerman, diberikan untuk mengambarkan konsentrasi perdebatan kejengkelan atau krisis dukungan terhadap partai politik saat itu. Pada tingkat yang lebih jauh, Eric Hobsbawm menemukan adanya opini publik ideologi anti-partai, sentimen dan pergerakan yang berlangsung periode antara 1914 dan zaman berakhirnya Soviet.

Di Indonesia, indikasi fenomena seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa juga terjadi. Berbagai survei menyebutkan partai politik di Indonesia di pandang oleh publik tidak mampu menjalankan perannya secara efektif, korup dan tidak memahami aspirasi publik. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menempati urutan terendah dibandingkan isntitusi-institusi politik lainnya. Buruknya citra partai politik ini lebih banyak lagi terekam dalam berbagai jajak pendapat non-profesional, penelitian dan diskusi-diskusi terbuka.

Fenomena di berbagai tempat tersebut terasa begitu aneh mengingat partai politik adalah institusi yang masih diakui relevansinya dalam sistem demokrasi modern. Peranan partai politik tidak dapat digantikan oleh institusi apapun bahkan oleh elemen-elemen civil society maupun organisasi-organisasi lain yang merepresentasikan kepentingan publik. Partai politik menjadi jembatan yang menghubungkan institusi-institusi pemerintah dengan elemen-elemen masyarakat sipil dan rakyat pada umumnya. Partai politik mengorganisir berbagai perbedaan ideologis dan kepentingan dalam masyarakat. Begitu pentingnya kedudukan dan arti penting partai politik dalam kehidupan demokrasi sehingga banyak ilmuwan politik mengaksiomakan bahwa tidak ada satu sistem politik yang dapat berlangsung tanpa partai politik.[1]

Tulisan berikut akan menganalisa fenomana sentimen anti-partai yang terjadi di Indonesia. Tulisan dimulai dengan pemahaman tentang sentimen anti-partai dan fokus studi dari sentimen anti-partai. Pembahasan dilanjutkan dengan saat-saat yang memunculkan sentimen anti-partai di Indonesia serta bentuk-bentuk sentimen anti-partai. Tulisan akan ditutup dengan refleksi implikasi yang muncul dari adanya sentimen anti-partai di negara yang menganut paham demokrasi.

Sentimen Anti Partai

Sentimen anti-partai merupakan sikap minor warga negara terhadap partai politik. Pada umumnya sikap ini muncul sebagai respon warga negara terhadap ketidakpuasan penampilan partai politik dalam pemerintahan, pengelolaan partai, dan partai di akar rumput. Hal itu merupakan hasil dari ketidakyakinan diantara janji-janji, lebel ideologi, dan pidato politik. Dalam beberapa hal tanggapan itu merupakan akibat yang logis dari ’janji yang berlebihan’ oleh  para politikus selama kampanye yang meningkatkan harapan diantara masyarakat. Beberapa hal yang lain, sentimen anti-partai juga menyangkut tanggapan warga negara terhadap kegagalan yang sebenarnya dari partai dan elit politik dalam menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan. Banyak masalah sosial, politik dan ekonomi tidak dapat dipecahkan degan mudah; kebanyakan pemimpin partai mungkin menjadi tidak bertanggungjawab, atau beberapa pemimpin partai mengkin menyalahgunakan akses mereka terhadap sumber daya pemerintah dan hak istimewa, dan menggunakannya untuk korupsi, perlindungan dan kegiatan lain yang serupa.

Dari banyak literatur yang membahas tentang sentimen anti-partai atau dengan berbagai istilah yang serupa dengan maksud istilah tersebut, setidaknya dapat dipilah dalam 3 (dua) fokus studi.[2] Pertama, studi yang fokus analisisnya pada struktur organisasi, fungsi dan keanggotaan partai dan penampilannya di pemerintahan dan dalam institusi yang diwakili. Pada cara pandang ini, sentimen anti-partai dilihat performance partai dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Untuk mengetahui performance partai yang dilakukan adalah dengan cara menanyakan kepada publik tentang kepuasan mereka tentang perilaku partai politik dan kepercayaan warganegara terhadap kinerja pelaksanaan fungsi-fungsi substantif partai politik.

Kedua, studi yang fokusnya pada partisipasi pemilih, perubahan pilihan partai politik dan ikatan sosial tradisioanal partai pada warga negara. Pada cara pandang ini, fokusnya adalah melihat respon warga negara melalui perilaku memilihnya. Fluktuasi voter turnout yang cenderung merosot, mengendur dan menguatnya identifikasi kepartaian serta fenomea split voting menjadi cara untuk melihat derajat sentimen anti-partai pada fokus studi ini.

Terakhir, studi yang fokus pada persetujuan atau ketidaksetujuan dari warga negara terhadap eksistensi partai politik sebagai penopang demokrasi. Pada fokus studi ini, Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero  mengembangkan 6 (enam) pertanyaan survei untuk melihat hal itu. Pertanyaan survei yang dikembangkannya adalah persetujuan atau ketidaksetujuan bahwa (1) partai saling mencela satu sama lain, tapi pada kenyataannya mereka sama saja; (2) partai politik hanya memecah-belah masyarakat; (3) tanpa partai, tak akan ada demokrasi; (4) partai dibutuhkan untuk mempertahankan kepentingan berbagai kelompok dan kelas  sosial; (5) terima kasih kepada partai, masyarakat dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik; terakhir (6) partai tak ada gunanya. Indikator 1 dan 2 disebut sebagai indikator kultural sentimen anti-partai, sedangkan indikator 3, 4, dan 5 disebutnya sebagai indikator reaktif sentimen pro-partai.

Dalam riset yang dilakukan di negara-negara Eropa Selatan, seperti Spanyol, Portugis, Itali dan Yunani, ditemukan ketidakkonsistenan atau ambivalensi sikap warga negara terhadap dua kelompok indikator yang disampaikan oleh Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero tersebut. Pada kelompok indikator kultural sentimen anti-partai menunjukkan sikap sentimen anti-partai, sedangkan pada kelompok indikator reaktif sentimen pro-partai menunjukkan bahwa warga negara di negara-negara tersebut bersikap pro-partai, meskipun dengan beberapa catatan (lihat tabel 1 dan 2).

Tabel 1

Sentimen Reaktif anti-partai di Eropa Selatan, 1985-1998 (%)

Spanyol Portugis Itali Yunani
1985 1988 1991 1995 1996 1997 1985 1993 1985 1985 1998
Pro-partai 64 68 58 63 62 62 60 65 48 72 13
Netral 30 27 37 32 32 32 35 34 43 26 46
Anti-partai 6 5 4 4 4 6 5 1 9 2 41

Sumber: Mariano Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero, Anti-Party Sentiments in Southern Europe, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan I.Linz, Political Parties: Old Concepts and New Challengers, Oxford UP, New York, 2002, hal 267

Tabel 2

Sentimen kultural anti-partai di Eropa Selatan, 1985-1998 (%)

Spanyol Portugis Itali Yunani
1985 1988 1991 1995 1996 1997 1985 1993 1985 1985 1998
Pro-partai 34 35 22 32 32 28 15 22 22 25 8
Netral 29 32 33 35 33 37 24 24 33 33 18
Anti-partai 37 33 44 33 36 35 61 52 44 42 74

Sumber : Mariano Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero, Anti-Party Sentiments in Southern Europe, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan I.Linz, Political Parties: Old Concepts and New Challengers, Oxford UP, New York, 2002, hal 268

Data yang ditampilkan pada tabel 1 dengan jelas menunjukkan mayoritas dari responden yang diteliti lebih dari dua dekade lalu bersikap pro-partai , terutama di Spanyol, Portugal, dan pada tahun 1985 di Yunani. Warga Itali nyaris rata terbagi pada tahun 1985 antara orang-orang yang pro-partai dan yang bersikap netral;ketika di Yunani ada kemunduran hebat pada sentimen pro-partai antara pertengahan tahun 1980 dan akhir tahun 1990. Sementara itu, pada tabel 2 memperlihatkan, sentimen anti-partai dalam jenis sentimen kultural lebih tinggi daripada jenis sentimen reaktif pro-partai, khususnya kuat di Portugis dan Yunani pada tahun 1998.

Pijar Sentimen Anti-Partai di Indonesia

Sejarah kepartaian di Indonesia telah ada sebelum negara ini terbentuk. Pada saat itu partai politik menjadi aktor penting yang memperjuangkan kebebasan ‘Indonesia’ dari kolonialisme.[3] Animo masyarakat untuk menjadi anggota partai politik juga tinggi meskipun tidak jelas apakah mereka sadar tujuan berpartai sehingga mereka bergabung dalam keanggotaan partai atau karena tertarik pada individu yang menjadi pucuk pimpinan partai politik, atau sebab yang lainnya. Yang jelas, legitimasi partai politik mendapatkan tempatnya di hati masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka, partai politik mengalami pasang surut dalam mewarnai politik Indonesia. Peran-peran mereka terkadang sangat menonjol dan keluar dari koridor sehingga membuat risih, terkadang pula peran partai tidak terlihat sama sekali, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Pasang surut itu terus berlangsung sampai dengan munculnya gerakan reformasi dan hingga saat ini.

Pada fase yang terakhir ini, karena kebebasan dan ekspose media yang luar biasa atas berbagai fenomena politik menjadikan perilaku partai politik mendapatkan sorotan yang luas dari publik. Timbul pertanyaan, sejauh mana partai politik dapat memainkan peran-peran substantifnya?

Dengan memanfaatkan ruang kebebasan yang dihasilkan oleh gerakan reformasi, partai politik semustinya dapat memainkan peran-peran substantifnya. Partai politik dapat memberikan warna kepada rejim yang berkuasa.  Peran ini dimungkinkan karena partai politik adalah mediator aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan dengan pemerintah sebagai pelaksana kewenangan. Tetapi sejauh ini partai politik dinilai oleh publik tidak mampu memainkan peran tersebut. Perilaku partai politik diciderai oleh perilaku elit elit partai yang bergerak tanpa pijakan pandangan (stand point) atau dasar ideologi yang jelas. Masyarakat sering bertanya, apakah partai itu the problem ataukah the solution?[4]

Ruang bagi partai politik untuk dapat memainkan peran-peran substantifnya sesungguhnya telah mendapatkan banyak momentum tetapi gagal dilaksanakannya. Menurut Imawan, ada 5 (lima) momentum yang seharusnya partai politik dapat berperan secara substantif.[5] Momentum pertama adalah Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Keluarnya Maklumat ini menegaskan ketergantungan partai politik kepada rejim politik untuk dapat tumbuh.

Momentum kedua adalah ketika demokrasi parlementer diadopsi. Ruang ini digunakan semata-mata untuk perjuangan merebut kekuasaan politik tanpa dilandasi agenda bersama yang jelas dan terarah.  Momentum ketiga adalah saat Pejabat Presiden Soeharto memerlukan dukungan politik untuk memperkuat pemerintahannya dengan mempercepat pemilu. Partai-partai politik yang ada, khususnya PNI dan NU menolak, bahkan menantang dilaksanakannya pemilu secepat mungkin yang waktu itu direncanakan bulan Januari 1967. Momentum keempat adalah saat gerakan Reformasi 1998. Ini kesempatan baik untuk melakukan perubahan sistem pemilihan umum dan reposisi serta redefinisi peran partai politik tetapi tidak juga partai mewarnai rexim politik.

Terakhir momentum menjelang pemilihan umum 2004. Melalui empat UU bidang politik yang baru, dilakukan perubahan yang cukup substansial yang memungkinkan partai-partai politik memposisikan diri dan meredefinisi fungsinya dalam proses politik yang demokratis. Secara normatif, sistem pemilihan bergeser dari dominasi partai ke rakyat pemilih sebagai penentu pemenang pemilu. Namun perubahan secara normatif ini dipecundangi oleh mekanisme yang ironisnya ditetapkan oleh para wakil rakyat di DPR sebagai pembuat UU. Rancangan mekanisme yang mengembalikan proses politik ke rakyat, mereka kembalikan lagi ketingkat elit partai. Mereka, para aktivis dan para elit partai politik itu, bukan saja telah melemahkan diri sendiri, juga kembali membuang peluang reposisi dan redefinisi fungsi partai politik di Indonesia.

Empat Bentuk Sentimen Anti-Partai

Berbagai momentum yang gagal dimanfaatkan oleh partai politik tersebut mengakibatkan pada setiap fase muncul sentimen anti-partai, tentu saja, dengan bentuk artikulasi yang berbeda-beda. Ekspresi sentimen anti-partai dapat mengambil bentuk, seperti telah dijelaskan sebelumnya dari fokus studi tentang sentimen anti-partai politik, ketidakpercayaan pada kinerja partai politik, bentuk-bentuk tertentu dari perilaku memilih, atau mempertanyakan relevansi eksistensi partai politik dalam tatanan demokrasi.

Daalder menyatakan bahwa sentimen anti-partai sesungguhnya dapat dibagi dalam 4 (empat) sikap.[6] Pertama, penyangkalan terhadap partai (the denial of party). Pemikiran dari kategori ini adalah menyangkal peranan legitimasi partai, dan memandang partai sebagai ancaman masyarakat yang baik. Kedua, penolakan selektif terhadap partai (the selective rejection of party). Pemikiran dalam kelompok ini adalah melihat tipe-tipe tertentu sebagai tipe partai yang ‘baik’ dan tipe yang lain ‘buruk’.

Ketiga, penolakan selektif terhadap sistem partai (the selective rejection of party system). kelompok ini melihat sistem partai tertentu adalah ‘baik’ dan sistem partai lainnya ‘buruk’. Terakhir, the redundancy of party. Kelompok ini melihat bahwa sentimen anti-partai adalah konsekwensi logis dari sebuah periode dimana partai kehilangan relevansinya karena munculnya aktor-aktor politik lain dalam demokrasi seperti media massa, individu dan kelompok-kelompok kepentingan dan penekan. Aktor-aktor baru tersebut seolah mengambil alih fungsi utama partai dimana partai pernah berperan.

Mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh Daalder, sentimen anti-partai di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, penyangkalan terhadap partai (the denial of party). Sentimen seperti ini terjadi ketika Presiden Sukarno dalam salah satu pidatonya mengajak kepada masyarakat untuk mengubur bersama-sama partai politik.[7] Sikap Sukarno ini muncul sebagai reaksi atas perilaku partai politik yang lebih menampilkan wajah konflik kekuasaan tanpa mampu membuat konsensus diantara mereka. Sentimen anti-partai dalam lingkup ini dikongkretkan oleh Sukarno munculnya konsep Demokrasi Terpimpin yang lahir melalui rahim Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada kasus kontemporer, bentuk penyangkalan warga negara Indonesia terhadap partai politik dapat dirujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Armunanto di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (2006).[8] Hasil penelitian menemukan sebanyak 30,6% responden menyatakan bahwa semua partai  politik tidak bisa dipercaya. Salah seorang responden dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa ‘sebaiknya partai politik dihapuskan saja karena hanya membuat kekacauan saja. Disamping itu, menurutnya partai politik hanya menjadi sumber pemborosan bagi negara karena harus dibiayai dengan dana yang sangat besar pada saat pemilu’.[9]

Kedua, penolakan selektif terhadap partai (the selective rejection of party). Pemikiran dalam kelompok ini adalah melihat tipe-tipe tertentu sebagai tipe partai yang ‘baik’ dan tipe yang lain ‘buruk’. Bibit sentimen jenis ini ada pada masa Presiden Sukarno yang direpresentasikan oleh penolakan beberapa partai politik, terutama Masyumi dan NU, terhadap kehadiran PKI dalam koalisi membentuk kabinet. Bentuk nyata dari tipe ini sangat terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru sampai dengan era sekarang. Hingga saat ini, tipe partai yang berhaluan Komunis atau Marxis di tolak kehadirannya melalui kesepakatan bersama yang terlihat dalam semua legislasi tentang partai politik yang di buat oleh Indonesia.

Pada tingkatan masyarakat, penolakan selektif terhadap partai politik dapat dirujuk pada Armunanto.[10] Menurutnya, sebanyak 61% responden yang diwawancarainya percaya pada partai politik secara selektif. Alasan yang disampaikan untuk percaya pada satu partai politik tertentu dan tidak percaya pada partai politik yang lain adalah beragam. Pertama, kepercayaan yang di picu oleh pertimbangan untung dan rugi bagi dirinya. Artinya, masyarakat bisa menilai apa keuntungan yang bisa didapatkan dari partai politik. kedua, kepercayaan yang sifatnya afiliatif, dimana kepercayaan masyarakat lebih didasarkan pada hubungan personal atau hubungan emosional, seperti kedekatan personal dengan tokoh partai, hubungan kekerabatan, ideologi dan sebagainya. Terakhir, kepercayaan yang sifatnya romantis, yaitu kedekatan yang lahir dari kedekatan emosi secara historis terhadap sebuah partai politik.[11]

Ketiga, penolakan selektif terhadap sistem partai (the selective rejection of party system). Pada kategori ini terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu, sistem partai yang diperkenankan hidup adalah sistem kepartaian hegemonik dengan jumlah partai dibatasi dan telah ditentukan partai apa yang boleh ada.[12] Sistem multipartai atau liberal dipandang tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Orde Baru juga mendengungkan suasana ‘chaostic’ dari sistem multipartai sebagai bentuk penolakan selektif terhadap sistem partai.

Pada era reformasi ini, penolakan selektif terhadap sistem partai muncul kembali. Hal yang mendasari adalah pengalaman dua kali pemilu telah melahirkan sistem multipartai yang berakibat pada kesulitan eksekutif melaksanakan pemerintahannya secara baik. Eksekutif dipaksa untuk terus berkompromi dengan partai-partai karena eksekutif tidak memiliki kaki yang kuat di parlemen. Akhirnya saat ini muncul wacana penyederhanaan partai politik yang berusaha di rekayasa dengan mempersulit pembentukan partai politik, memperketat syarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu, membuat electoral threshold yang tinggi dan parliementary threshold, serta mempersempit district magnitude. Wacana pemilu 2009 misalnya, muncul usulan dari PDIP dan Golkar untuk menaikkan electoral threshold dari 3% menjadi 5 % dengan ditambah memberlakukan parliementary threshold juga sebanyak 5%.

Wacana penolakan selektif terhadap sistem partai juga muncul dari masyarakat. Survei yang dilakukan oleh CESDA – LP3ES menjelang pemilu 2004 mengkonfirmasi hal itu.  Sebagian besar responden setuju dengan pembatasan jumlah partai (64%).[13] Jumlah partai yang di toleransi untuk eksis adalah  1-5 partai (55%) dengan kata lain sistem kepartaian yang diinginkan oleh masyarakat adalah pluralisme terbatas.

Diagram 1:

Pertanyaan: Menurut Anda, apakah jumlah partai politik peserta Pemilu 2004 sebaiknya dibatasi atau tidak dibatasi?

Sumber: http://www.lp3es.or.id/program/Polling5/popular1.htm

Keempat, the redundancy of party. Survei Asia Barometer (2004) menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menempati urutan terendah dibawah parlemen, kepolisian dan institusi legal. Sedangkan TNI, pemerintah pusat dan pemerintah lokal justru menduduki peringkat teratas. Buruknya citra partai politik ini lebih banyak lagi terekam dalam berbagai jajak pendapat non profesional, penelitian dan diskusi-diskusi terbuka.

Jajak Pendapat Kompas (2007a) yang menanyakan tentang mana diantara partai politik, LSM, lembaga  agama, dan media massa yang dipercaya sebagai saluran aspirasi warga negara tidak pernah sekalipun menempatkan partai politik diurutan pertama atau kedua sebagai pilihan.[14] Responden yang tersebar di 10 kota besar di Indonesia rata-rata menempatkan partai politik diurutan terakhir sebagai agen artikulasi kepentingan rakyat. Media massa dan LSM menjadi aktor baru yang menurut responden menjadi artikulator kepentingan rakyat.

Jauh sebelumnya, PPIM dalam dua kali survei (2001,2002) juga menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu partai politik mendapatkan kepercayaan yang paling rendah diantara 10 (sepuluh) institusi politik dan sosial yang di survei seperti presiden, polisi, TNI, pengadilan, DPR, MPR, serikat kerja, organisasi keagamaan, tokoh agama dan partai politik sendiri.[15] Tokoh agama dan TNI menjadi institusi penting yang dipercaya rakyat. Rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik ini kemudian turut memberikan andil merosotnya voter turnout dalam pemilu 2004 menjadi 84%. Pada  pemilu legislatif 1999, voter turnout mencapai 92,74%, suatu angka yang melebihi voter turnout pada pemilu 1955yang disebut sebagai pemilu demokratis. Terjadi kemerosotan sekitar 8%.

Rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap institusi partai politik boleh jadi berasal dari perilaku partai politik sendiri yang tidak mampu menjalankan sejumlah fungsinya. Survei LP3ES menyebutkan mayoritas absolut (64%) responden yang diteliti menyatakan tidak yakin partai politik menyuarakan kepentingannya.[16] Hanya 16% saja yang menyatakan yakin dan sisanya tidak tahu/tidak menjawab.

Jajak pendapat yang dilakukan kompas mengkonfirmasi temuan LP3ES. Dalam dua kali jajak pendapat (April dan September 2007) ditemukan mayoritas absolut responden tidak puas dengan fungsi-fungsi partai (lihat tabel 3).

Tabel 3

Pendapat Masyarakat Tentang Kinerja Partai Politik

April 2007 September 2007
puas Tidak

puas

Tidak

tahu

puas Tidak

puas

Tidak

tahu

Merekrut dan mengendalikan anggota-anggotanya 18 76.1 5.9 21.7 71.3 7
Meperkenalkan programnya kepada masyarakat 22.6 73.1 4.3 29.2 67.4 3.4
Menangkap aspirasi masyarakat 20.5 76.4 3.1 25.6 72 2.4
Menempatkan wakil-wakilnya di DPR/MPR 18.5 77 4.5 26.6 68.8 4.6
Menempatkan kader-kadernya di pemerintahan 27.8 67.7 4.5
Mongontrol kinerja pemerintahan 22.5 72.5 5 30.6 67 2.4
Melakukan pendidikan politik kepada masyarakat 19 76.1 4.9 27.4 68.9 3.7

Sumber: Diintegrasikan dari jajak pendapat kompas 16 April 2007 dan 10 september 2007

Terlihat, selang waktu lima bulan dari jajak pendapat yang pertama, meskipun ada penurunan angka, ketidakpuasan responden terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik tetap tinggi, diatas 60%. Partai politik pada fungsi-fungsi yang  semestinya dapat menaikkan  citranya dihadapan publik, seperti fungsi kontrol kinerja pemerintahan, pendidikan politik dan memperkenalkan program kepada masyarakat, tidak  mampu pula menembus angka kepercayaan publik dibawah 50%. Partai politik sungguh menghadapi persoalan yang serius dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Penutup

Apa yang terjadi apabila sentimen anti-partai, terutama penyangkalan terhadap partai (the denial of party) dan the redundancy of party, terus menguat?  Pada tingkatan yang dangkal, biasa terjadi pengenduran identitas kepartaian, pengikisan psikologi pemilih partai, penurunan pemilih, dan peningkatan golput. Kemungkinan lain dari menguatnya sentimen anti-partai adalah kembalinya persepsi klasik tentang partai politik sebagai sesuatu yang jahat dan memuakkan sehingga perlu dibasmi seperti yang terjadi pada masa awal pertumbuhan partai politik.

Pada tingkat yang lebih tinggi, berkembangnya sentimen anti-partai dapat terjadi peningkatan dukungan untuk partai yang anti sistem dan terkikisnya legitimasi demokrasi. Ujung-ujungnya, sentimen anti-partai dalam bentuk penyangkalan terhadap partai politik dapat membahayakan demokrasi itu sendiri. Bila sistem politik tanpa partai politik maka bentuk sistem politiknya sudah dapat di duga. Pemusatan kekuasaan pada satu tangan menjadi tidak terhindarkan.

Menghindari kemungkinan terburuk dari menguatnya sentimen anti-partai tersebut, sejumlah langkah penguatan partai politik perlu dipikirkan.  Pertama, partai politik perlu menyeimbangkan perilaku antara politik untuk mencari kekuasaan dengan politik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Partai politik harus sadar bahwa sejarah eksistensi partai politik tidak semata-mata untuk kekuasaan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, dalam rangka menyeimbangkan perilaku tersebut, partai politik perlu memiliki garis ideologi yang jelas (bringing ideology back in). Ideologi yang dimaksud di sini adalah sebuah panduan yang akan digunakan untuk memandu pilhan-pilihan politik yang harus diambil ketika sebuah kebijakan harus di buat.

Terakhir, perlu institusionalisasi partai politik. Institusionalisasi ini akan menjadikan partai politik mengakar dalam masyarakat, stabil dalam kontestasi ketika pemilu dan stabilitas internal organisasi dapat lebih terjaga.

BACAAN

Armunanto, Andi Ali, Kepercayaan Masyarakat Terhadap Partai Politik: Studi Tentang faktor-Faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, Thesis, Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta, 2006.

Daalder, Haans, Parties: Denied, Dismissed, or Redundant? A Critique, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan I.Linz, Political Parties: Old Concepts and New Challengers, Oxford UP, New York, 2002,

Dhakidae, Daniel, Partai-Partai Politik Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, dalam Tim Litbang Kompas, Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program, Kompas, Jakarta, 1999

Feith, Herbert dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, LP3ES, Jakarta,1988

Imawan, Riswandha, Partai Politik di Indonesia: Pergulatan setengah hati mencari jati diri, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Politik UGM, 4 september 2004, Yogyakarta.

Kompas 16 April 2007 dan 10 september 2007

Macridis, Roy C., Pengantar Sejarah, Fungsi dan Tipologi Partai Politik, dalam Amal, Ichlasul, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996,

Munjani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia pasca Orde baru, Gramedia, jakarta, 2007

Nadj, E. Shobirin, Rahadi T. Wiratama, Wildan Pramudya A,  Laporan survai tentang popularitas partai menjelang pemilu 2004. CESDA – LP3ES, JAKARTA, 12 JUNI 2003, http://www.lp3es.or.id/program/Polling5/popular1.htm

Sartori, Giovanni, Parties and party system, Cambridge UP, London, 1976

Torcal, Mariano, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero, Anti-Party Sentiments in Southern Europe, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan I.Linz, Political Parties: Old Concepts and New Challengers, Oxford UP, New York, 2002


[1] Lihat Roy C. Macridis, Pengantar Sejarah, Fungsi dan Tipologi Partai Politik, dalam Amal, Ichlasul, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996, hal 17.

[2] Lihat Mariano Torcal, Richard Gunther, dan Jose Ramon Montero, Anti-Party Sentiments in Southern Europe, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan I.Linz, Political Parties: Old Concepts and New Challengers, Oxford UP, New York, 2002, hal 257-258.

[3] Lihat Daniel Dhakidae, Partai-Partai Politik Indonesia: Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, dalam Tim Litbang Kompas, Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program, Kompas, Jakarta, 1999, hal 1-40

[4] Riswandha Imawan, Partai Politik di Indonesia: Pergulatan setengah hati mencari jati diri, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Politik UGM, 4 september 2004, Yogyakarta, hal 4

[5] ibid, hal 5-7

[6] Haans Daalder, Parties: Denied, Dismissed, or Redundant? A Critique, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan I.Linz, Political Parties: Old Concepts and New Challengers, Oxford UP, New York, 2002, hal 39

[7] Ajakan Sukarno untuk mengubur partai-partai politik disampaikannya pada tanggal 28 Oktober 1956 di depan pertemuan wakil-wakil pemuda dari semua partai politik dan 30 Oktober 1956 didepan kongres persatuan guru. Lihat Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, LP3ES, Jakarta,1988, hal. 62-66

[8] Lihat Andi Ali Armunanto, Kepercayaan Masyarakat Terhadap Partai Politik: Studi Tentang faktor-Faktor yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, Thesis, Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta, 2006.

[9]Ibid, hal. 106

[10] ibid, hal 98-103

[11] ibid hal 103

[12] tentang sistem kepartaian hegemonik, lihat

[13]Lihat E. Shobirin Nadj, Rahadi T. Wiratama, Wildan Pramudya A,  Laporan survai tentang popularitas partai menjelang pemilu 2004. CESDA – LP3ES, JAKARTA, 12 JUNI 2003. Jumlah sampel : 3000 responden, dengan proporsi perempuan (50%) dan laki-laki (50%) yang diambil secara acak. Margin of Error (MoE) : + 2% pada tingkat kepercayaan 95%. Wawancara dilakukan dengan tatap muka (face to face). Kerangka Sampling : Daftar Kartu Keluarga (KK). Wilayah survai : 13 propinsi. Pengumpulan data dilakukan selama 12 Hari (1-12 Mei 2003). http://www.lp3es.or.id/program/Polling5/popular1.htm

[14] Jajak pendapat dilakukan melalui telpon. Waktru pelaksanaan 11-12 April 2007 dengan responden 806 dengan batas usia 17 tahun secara acak dengan pencuplikan sistematis dari buku telepon terbaru. Responden tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Pontianak, banjarmasin, Makassar, manado, dan jayapura.jumlah responden ditentukan secara proporsional disetiap daerah. Tingkat kepercayaan 95% dengan nirpencuplikan penelitiann3,4%. Lihat Kompas, Senin, 16 April 2007.

[15] Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia pasca Orde baru, Gramedia, jakarta, 2007, hal. 202

[16] E. Shobirin Nadj, Rahadi T. Wiratama, Wildan Pramudya A., Op.Cit

2 Responses to “SENTIMEN ANTI-PARTAI DI ERA REFORMASI”

  1. mana nggga ada tabelnya aneh di luar ada tulisan tabel didalem nya malah ngga ada hu payah cemen !!!!!!!!!!!!!!!!

    diodi

  2. tabel yang mana? ada kan. kalo ini bisa dirujuk langsung ke: http://www.lp3es.or.id/program/Polling5/popular1.htm

    admin

Leave a Reply