Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh: Sigit Pamungkas

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, 15 April 2009

Apabila perolehan suara diperoleh dengan cara yang fair, untuk saat ini PD dapat berbangga diri. Hal ini karena berbagai lembaga survei menempatkannya sebagai partai pemenang pemilu 2009. Dalam hitung cepat perolehan suaranya sekitar 20 persen. Fantastis, naik hampir 300 persen dari hasil pemilu 2004 yang hanya 7,45 persen.

Meskipun demikian, kebanggaan tersebut untuk pemilu-pemilu ke depan boleh jadi berubah menjadi ratapan. Perolehan suara PD dapat terjun bebas. Apabila tidak berhati-hati, eksistensi PD dapat lenyap secara mengejutkan seperti halnya kehadirannya yang mengejutkan. Hal ini terkait dengan karakter pemilih PD yang mudah bermigrasi.

Karakter pemilih PD, bila ditelisik, sebenarnya tidak lebih sebagai pemilih ‘indekost’. Pemilih tipe ini menjadi pendukung PD bukan karena ikatan-ikatan yang bersifat ideologis sehingga terkesan militan. Pemilih PD adalah pemilih-pemilih rasional-pragmatis. Apabila argumentasi yang bersifat rasional lenyap maka pendukung partai dapat juga lenyap. Pemilih dapat dengan sangat mudah bermigrasi mencari partai lain sebagai tempat indekost yang baru.

Secara kategoris, pemilih indekost di PD pada pemilu kali ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Pertama, pemilih inti atau basis. Pemilih ini adalah pendukung PD dalam pemilu 2004. Pemilih inti ini terpilah menjadi dua, yaitu pemilih yang sejak awal memang mengagumi ketokohan SBY, dan pemilih yang terbawa situasi melodramatik ketika SBY dinistakan oleh Taufiq Kiemas .

Melihat SBY cukup berprestasi dalam menjalankan pemerintahan dan merasa perlu untuk melanjutkan pemerintahan lagi, kedua jenis pemilih inti atau basis ini secara solid kemudian kembali memberikan suaranya pada PD. Pada pemilu 2004, pemilih inti atau basis ini adalah pendukung PDIP di pemilu 1999 yang kecewa dengan kepemimpinan PDIP.

Kelompok pemilih yang kedua adalah pemilih apresiatif. Mereka ini merupakan pemilih baru PD yang mempersepsikan pemerintahan SBY berada di jalur yang benar dalam mengelola pemerintahan. Kelompok pemilih ini bukannya tidak melihat beberapa kekurangan dalam pemerintahan SBY. Kekurangan itu ada tetapi kekurangan itu bukannya lantas menghalangi untuk memberikan apresiasi atas beberapa prestasi yang telah dicapai. Sumber pemilih apresiatif terutama adalah berasal dari PDIP, Golkar, dan PPP.

Kelompok pemilih apresiatif ini terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok kelas menengah dan kelompok kelas bawah. Kelas menengah respek dengan pemerintahan SBY atas-isu-isu strategis bangsa terutama komitmen pemberantasan korupsi dan kepemimpinan yang non-konfliktual. Sedangkan kelompok bawah simpatik dengan PD karena SBY mengeluarkan kebijakan yang bersifat instan-populis seperti pembagian BLT, PNPM dan penurunan BBM. Kepentingan-kepentingan dari kedua kelompok apresiatif tersebut diakomodasi secara baik dalam pemerintahan SBY.

Kelompok ketiga yang memilih PD adalah kelompok pemilih protes. Kelompok pemilih ini memberikan dukungan kepada PD sebagai bentuk protes terhadap persoalan-persoalan yang melanda partai asal mereka. Mereka tidak puas atau tidak nyaman dengan kondisi partai asal. Ketidakpuasan itu muncul akibat konflik internal maupun masuknya unsur-unsur baru di dalam partai. Konflik di tubuh PKB yang berujung pada absennya dukungan Gus Dur memberi keuntungan tersendiri pada PD. Khususnya di Jawa Timur, massa PKB yang kecewa dengan partainya bertemu kepentingan dengan PD karena diikat oleh sentimen regional, yaitu SBY dari Jawa Timur. Secara bersamaan pula PD berjuang sangat serius ‘menggarap’ Jawa Timur karena putra mahkota SBY, yaitu Edi Baskoro, berada di sana.

Dengan demikian, pemilih indekost di PD adalah pemilih yang labil. Keberadaan pemilih indekost ini sangat tergantung pada kepribadian tokoh yang menjadi simbol partai, kinerja pemerintahan, dan situasi internal partai lain. Semua kelompok pemilih itu memberikan dukungan kepada PD dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini adalah pemilih yang relatif kritis. Pemilih ini melabuhkan suaranya untuk sementara waktu.

Dalam jangka panjang, tingkat dukungan pemilih akan sangat tergantung pada faktor internal dan dan eksternal PD. Sejauh PD dapat memenuhi harapan-harapan pemilih dan situasi partai-partai lain terus dilanda kekacauan maka pemilih indekost itu akan terus memberikan dukungannya. Bahkan, bukan mustahil tingkat dukungan PD akan terus mengalami peningkatan. Bila itu yang terjadi maka konstelasi kepartaian ke depan akan berubah secara drastis. Pemilih bergerak secara dinamis mencari kesetiaan-kesetiaan baru (re-aligment) meninggalkan kepartaian tradisional.

Sebaliknya, apabila PD gagal memenuhi kepentingan-kepentingan politik pemilihnya maka PD dalam bahaya. Suara PD dapat gembos secara tiba-tiba, bahkan eksistensi PD dapat lenyap secara mengejutkan. PD dapat menjadi partai gurem atau partai desimal, yaitu partai nol koma.

Kemungkinan pendukung PD akan gembos semakin besar peluangnya apabila tidak segera dilakukan kerja-kerja kepartaian. Mengubah dari kepercayaan dan ketergantungan kepada tokoh menjadi kepercayaan kepada partai. Sebab, pamor tokoh tidak dapat diwariskan begitu saja meskipun ia adalah keturunan sang tokoh. Anak biologis tidak serta-merta menjadi anak ideologis. Dari waktu ke waktu pamor tokoh akan meredup. Pada konteks ini, PD dapat belajar dari meredupnya pamor Sukarno di PDIP sebagai magnet partai.

Lebih dari itu, PD perlu mengubah pendukungnya dari sekedar suporter menjadi konstituen. PD perlu melakukan kerja-kerja mengakarkan partai ke dalam masyarakat. Kerja ini untuk membentuk pemilih tradisonal partai. Dengan cara itu ketika partai dalam situasi krisis masih terdapat pendukung inti yang stabil memberikan suaranya kepada PD.

Apabila kerja-kerja ini tidak dilakukan maka tidak lama lagi PD akan kembali menjadi partai fenomenal dalam makna yang negatif. Pendukung PD gembos secara mengejutkan. Oleh karena itu, pemilih indekost harus dibuat nyaman untuk menjadikan PD sebagai rumah mereka sendiri. Apabila itu tidak dilakukan maka migrasi pemilih meninggalkan PD akan benar-benar terjadi.  (Penulis adalah Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM).

Pernah di muat di Kedaulatan Rakyat, 2009

Apabila perolehan suara diperoleh dengan cara yang fair, untuk saat ini PD dapat berbangga diri. Hal ini karena berbagai lembaga survei menempatkannya sebagai partai pemenang pemilu 2009. Dalam hitung cepat perolehan suaranya sekitar 20 persen. Fantastis, naik hampir 300 persen dari hasil pemilu 2004 yang hanya 7,45 persen.

Meskipun demikian, kebanggaan tersebut untuk pemilu-pemilu ke depan boleh jadi berubah menjadi ratapan. Perolehan suara PD dapat terjun bebas. Apabila tidak berhati-hati, eksistensi PD dapat lenyap secara mengejutkan seperti halnya kehadirannya yang mengejutkan. Hal ini terkait dengan karakter pemilih PD yang mudah bermigrasi.

Karakter pemilih PD, bila ditelisik, sebenarnya tidak lebih sebagai pemilih ‘indekost’. Pemilih tipe ini menjadi pendukung PD bukan karena ikatan-ikatan yang bersifat ideologis sehingga terkesan militan. Pemilih PD adalah pemilih-pemilih rasional-pragmatis. Apabila argumentasi yang bersifat rasional lenyap maka pendukung partai dapat juga lenyap. Pemilih dapat dengan sangat mudah bermigrasi mencari partai lain sebagai tempat indekost yang baru.

Secara kategoris, pemilih indekost di PD pada pemilu kali ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok. Pertama, pemilih inti atau basis. Pemilih ini adalah pendukung PD dalam pemilu 2004. Pemilih inti ini terpilah menjadi dua, yaitu pemilih yang sejak awal memang mengagumi ketokohan SBY, dan pemilih yang terbawa situasi melodramatik ketika SBY dinistakan oleh Taufiq Kiemas .

Melihat SBY cukup berprestasi dalam menjalankan pemerintahan dan merasa perlu untuk melanjutkan pemerintahan lagi, kedua jenis pemilih inti atau basis ini secara solid kemudian kembali memberikan suaranya pada PD. Pada pemilu 2004, pemilih inti atau basis ini adalah pendukung PDIP di pemilu 1999 yang kecewa dengan kepemimpinan PDIP.

Kelompok pemilih yang kedua adalah pemilih apresiatif. Mereka ini merupakan pemilih baru PD yang mempersepsikan pemerintahan SBY berada di jalur yang benar dalam mengelola pemerintahan. Kelompok pemilih ini bukannya tidak melihat beberapa kekurangan dalam pemerintahan SBY. Kekurangan itu ada tetapi kekurangan itu bukannya lantas menghalangi untuk memberikan apresiasi atas beberapa prestasi yang telah dicapai. Sumber pemilih apresiatif terutama adalah berasal dari PDIP, Golkar, dan PPP.

Kelompok pemilih apresiatif ini terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok kelas menengah dan kelompok kelas bawah. Kelas menengah respek dengan pemerintahan SBY atas-isu-isu strategis bangsa terutama komitmen pemberantasan korupsi dan kepemimpinan yang non-konfliktual. Sedangkan kelompok bawah simpatik dengan PD karena SBY mengeluarkan kebijakan yang bersifat instan-populis seperti pembagian BLT, PNPM dan penurunan BBM. Kepentingan-kepentingan dari kedua kelompok apresiatif tersebut diakomodasi secara baik dalam pemerintahan SBY.

Kelompok ketiga yang memilih PD adalah kelompok pemilih protes. Kelompok pemilih ini memberikan dukungan kepada PD sebagai bentuk protes terhadap persoalan-persoalan yang melanda partai asal mereka. Mereka tidak puas atau tidak nyaman dengan kondisi partai asal. Ketidakpuasan itu muncul akibat konflik internal maupun masuknya unsur-unsur baru di dalam partai. Konflik di tubuh PKB yang berujung pada absennya dukungan Gus Dur memberi keuntungan tersendiri pada PD. Khususnya di Jawa Timur, massa PKB yang kecewa dengan partainya bertemu kepentingan dengan PD karena diikat oleh sentimen regional, yaitu SBY dari Jawa Timur. Secara bersamaan pula PD berjuang sangat serius ‘menggarap’ Jawa Timur karena putra mahkota SBY, yaitu Edi Baskoro, berada di sana.

Dengan demikian, pemilih indekost di PD adalah pemilih yang labil. Keberadaan pemilih indekost ini sangat tergantung pada kepribadian tokoh yang menjadi simbol partai, kinerja pemerintahan, dan situasi internal partai lain. Semua kelompok pemilih itu memberikan dukungan kepada PD dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini adalah pemilih yang relatif kritis. Pemilih ini melabuhkan suaranya untuk sementara waktu.

Dalam jangka panjang, tingkat dukungan pemilih akan sangat tergantung pada faktor internal dan dan eksternal PD. Sejauh PD dapat memenuhi harapan-harapan pemilih dan situasi partai-partai lain terus dilanda kekacauan maka pemilih indekost itu akan terus memberikan dukungannya. Bahkan, bukan mustahil tingkat dukungan PD akan terus mengalami peningkatan. Bila itu yang terjadi maka konstelasi kepartaian ke depan akan berubah secara drastis. Pemilih bergerak secara dinamis mencari kesetiaan-kesetiaan baru (re-aligment) meninggalkan kepartaian tradisional.

Sebaliknya, apabila PD gagal memenuhi kepentingan-kepentingan politik pemilihnya maka PD dalam bahaya. Suara PD dapat gembos secara tiba-tiba, bahkan eksistensi PD dapat lenyap secara mengejutkan. PD dapat menjadi partai gurem atau partai desimal, yaitu partai nol koma.

Kemungkinan pendukung PD akan gembos semakin besar peluangnya apabila tidak segera dilakukan kerja-kerja kepartaian. Mengubah dari kepercayaan dan ketergantungan kepada tokoh menjadi kepercayaan kepada partai. Sebab, pamor tokoh tidak dapat diwariskan begitu saja meskipun ia adalah keturunan sang tokoh. Anak biologis tidak serta-merta menjadi anak ideologis. Dari waktu ke waktu pamor tokoh akan meredup. Pada konteks ini, PD dapat belajar dari meredupnya pamor Sukarno di PDIP sebagai magnet partai.

Lebih dari itu, PD perlu mengubah pendukungnya dari sekedar suporter menjadi konstituen. PD perlu melakukan kerja-kerja mengakarkan partai ke dalam masyarakat. Kerja ini untuk membentuk pemilih tradisonal partai. Dengan cara itu ketika partai dalam situasi krisis masih terdapat pendukung inti yang stabil memberikan suaranya kepada PD.

Apabila kerja-kerja ini tidak dilakukan maka tidak lama lagi PD akan kembali menjadi partai fenomenal dalam makna yang negatif. Pendukung PD gembos secara mengejutkan. Oleh karena itu, pemilih indekost harus dibuat nyaman untuk menjadikan PD sebagai rumah mereka sendiri. Apabila itu tidak dilakukan maka migrasi pemilih meninggalkan PD akan benar-benar terjadi.  (Penulis adalah Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM).

2 Responses to “Masa Depan Partai Demokrat”

  1. Prediksi yang bisa diperhitungan. Thanks mas saya cari referensi ternyata bertemu disini. again, thanks

    david efendi

  2. terimakasih, semoga berguna. bagaimana kabar bos.

    sigit p

Leave a Reply