Oleh: Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Mendekati hari-H pelaksanaan pemilu dan tahap setelahnya pesimisme terhadap nasib dan kualitas pelaksanaan pemilu 2009 semakin besar. Hal ini terjadi karena dari keseluruhan pentahapan pemilu yang telah dilewati tidak satupun tahapan pemilu yang dapat dilalui dengan baik. Hampir semua tahapan yang telah dilalui selalu saja timbul masalah.
Bercermin dari ‘prestasi’ pada pentahapan yang telah dilewati, apakah pentahapan pemilu yang masih tersisa dapat berjalan dengan lancar? Masalah apa yang akan muncul pada tahap-tahap pemilu yang masih tersisa? Mampukah pemilu dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan?
Apabila tahap-tahap pemilu yang tersisa tidak dapat dilewati secara baik maka pelaksanaan pemilu 2009 terancam gagal. Gagal bukan dalam arti pemilu tidak terlaksana, tetapi gagal dalam arti pemilu yang dilaksanakan tidak mampu mencapai kualitas-kualitas yang diinginkan. Pemilu sekedar terlaksana tetapi kualitasnya dipertanyakan, dan akhirnya adalah mempertanyakan legitimasi hasil pemilu.
Kualitas Pemilu
Pemilu merupakan sarana rakyat untuk berdaulat atas dirinya sendiri. Oleh karena itu penyelengaraan pemilu harus dilaksanakan secara berkualitas. Pemilu yang berkualitas akan meningkatkan legitimasi dan kredibilitas pemerintahan hasil pemilu. Konflik akibat ketidakpuasan hasil pemilu juga dapat ditekan karena pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara baik kepada publik. Selain itu pemilu yang berualitas juga dapat meningkatkan partisipasi politik karena apatisme yang disebabkan oleh kecurangan dalam pemilu dapat dinetralisir.
Pemilu yang berkualitas setidaknya harus memperlakukan secara baik tiga hal, yaitu peserta pemilu (contestant), pemilih (voter), dan suara pemilih (voice). Harus dipastikan bahwa peserta pemilu adalah peserta yang absah untuk menjadi peserta pemilu, dan tidak ada pembedaan perlakukan diantara peserta pemilu yang satu dengan yang lain.
Terkait dengan pemilih (voter), dalam pemilu yang berkualitas harus dipastikan pula bahwa semua warga negara yang memiliki hak pilih difasilitasi secara baik untuk menggunakan hak pilihnya. Pada saat yang bersamaan tidak boleh orang yang tidak memiliki hak pilih difasilitasi sebagai pemilih. Sedangkan terkait dengan suara pemilih (voice) harus dipastikan bahwa suara pemilih memiliki makna. Memiliki makna dalam arti suara pemilih dicatat apa adanya tanpa ada manipulasi dan ditransfer ke dalam kursi sesuai mekanimse yang elah ditentukan.
Apabila ketiga hal tersebut tidak diperlakukan secara baik maka kualitas pemilu menjadi dipertanyakan. Pemilu hanya akan menjadi seremoni tanpa makna apa-apa. Hasil dari pemilu dapat diragukan keabsahannya.
Sayangnya, sampai saat ini dua dari tiga hal tersebut diatas, yaitu kontestan pemilu dan pemilih, sudah bermasalah. Melihat kecenderungan yang ada, suara pemilih (voice) juga akan bermasalah apabila tidak ada langkah-langkah strategis untuk menyelamatkannya.
Kontestan pemilu (contestant) bermasalah karena peserta pemilu kali ini tidak diperlakukan secara sama.[1] Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketidakadilan dari pasal 316 huruf d terdapat 4 (empat) partai politik yang diikut sertakan dalam pemilu begitu saja tanpa melalui proses verifikasi. Keempat partai itu adalah Partai Merdeka, PNUI, PSI, dan Partai Buruh.[2] Padahal, semua partai baik yang lolos electoral threshold (ET) maupun partai-partai yang tidak lolos ET tetapi memperoleh kursi di DPR dilakukan verifikasi atas keikutsertaan mereka dalam pemilu. Tanpa dilakukan verifikasi berarti KPU telah ‘menyelundupkan’ partai dalam pemilu 2009.
Pada pemilih (voter) bermasalah karena berulangkali KPU mengubah daftar pemilih tetap yang telah diumumkannya. Jumlah pemilih terus berubah-ubah. Sampai saat ini perubahan itu telah berlangsung sebanyak tiga kali. Meskipun perubahan itu ditujukan untuk memperbaiki kualitas Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada saat yang sama itu menunjukkan betapa profesionalitas KPU dalam masalah pemilih ini sangat rendah. Pada kasus yang terakhir profesionalitas KPU kembali dipertanyakan karena di Jawa Timur ditemukan ribuan calon pemilih yang ternyata palsu. Bayangkan apa yang terjadi apabila fenomena itu tidak terungkap, apa yang terjadi? Ini lagi-lagi menunjukkan ketidakprofesionalan KPU. Temuan ini berarti akan mengubah lagi DPT yang telah disahkan untuk kesekian kalinya. Persoalan tidak berhenti disitu, bagaimana dengan nasib kertas suara yang telah dikirimkan ke daerah tersebut? Dengan verifikasi baru berarti akan ada kerta suara sisa yang melebihi yang semestinya. Pertanyaannya kemana kertas suara itu akan diamankan? Apakah ada jaminan sisa kertas suara itu tidak disalahgunakan?
Terhadap peserta pemilu dan pemilih KPU telah gagal mengelola secara baik bagaimana dengan kerja KPU dalam mengamankan suara pemilih? Boleh jadi persoalan akan kembali muncul dengan nasib suara pemilih ini. Akibat performance KPU yang lemah konflik-konflik hasil pemilu dapat dengn mudah akan muncul. Tidak hanya itu, angka-angka hasil pemilu dikhawatirkan tidak sesuai dengan perolehan asli partai politik karena adanya tekanan-tekanan politik yang tidak mampu dibendung oleh KPU. Disini, KPU dapat menjadi sumber kegagalan pemilu akibat kinerja dan epemimpinan yang lemah.
Apabila nasib ‘suara’ ketika penghitungan dan penetapan calon terpilih ini tidak terselamatkan secara baik maka sempurna sudah kegagalan penyelenggaraan pemilu kali ini. Pemilu gagal bukan karena tidak dilaksanakan pada waktunya tetapi lebih pada kualitas pemilu yang tidak dijaga dengan baik.
Sampai pada titik ini peran serta masyarakat dalam tahap pemilu yang masih tersisa bukan hanya penting tetapi sangat dibutuhkan. Masyarakat sipil perlu terlibat dalam mengawal tahap paling kritis dalam pemilu kita, yaitu menjaga agar suara pemilih aman.
Masyarakat dapat mengambil berbagai bentuk penyelamatan. Diantara bentuk-bentuk keterlibatan itu diantaranya menjadi pemantau pemilu dan melakukan kontrol hasil pemilu melalui quick count. Tentu saja bentuk ketrlibatan itu perlu dlakukan secara profesional agar tidak semakin memperparah persoalan. ***
[1] Lihat artikel penulis yang dipublikasikan Harian Kompas Nasional dibawah judul “(De) Legitimasi Pemilu”, Jumat, 18 Juli 2008.
[2] Pasal itu berbunyi sebagai berikut “ partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan pasal 315 dapat mengikuti pemilu 2009 dengan ketentuan: …..(d) memiliki kursi di DPR RI hasil pemilu 2004”. Pasal ini oleh partai-partai yang tidak lolos ET sebesar 3% digugat ke MK karena dinilai tidak adil dan menyalahi ketentuan ET 3%.
I wonder exactly what Joyce will change with this
dozier insurance
September 26th, 2010