Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh: Sigit Pamungkas

Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Pemilu merupakan sarana menghadirkan representasi politik masyarakat ke dalam panggung politik melalui partai dan wakil-wakil yang terpilih. Dalam proses menghadirkan representasi politik itu, pemilu merupakan sarana yang dapat ‘dimanipulasi’, dan ‘diotak-atik’ oleh siapapun untuk tujuan dan kepentingan-kepentingan  tertentu.

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, hingga saat ini sistem pemilu proporsional masih dilihat sebagai pilihan yang tepat dalam mengkonversi kepentingan-kepentingan politik warga negara. Berbagai momentum politik yang hadir dalam konstelasi politik nasional tidak menyurutkan pilihan atas keunggulan sistem proporsional dalam membentuk perwakilan politik, meskipun disana –sini dilakukan penyempurnaan dan modifikasi.

Pada Pemilu 2004, secara prinsip memakai sistem pemilu proporsioanl. Tetapi, dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya yang pernah dilaksanakan memiliki kompleksitas yang berbeda. Hal ini karena sistem pemilu 2004 membatasi kursi yang diperebutkan berkisar antara 3-12 kursi di setiap daerah pemilihan. Akibatnya, lingkup daerah pemilihan tidak seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya yang menempatkan provinsi secara otomatis menjadi satu daerah pemilihan. Dengan formula district magnitude antara 3-12 kursi mengakibatkan ada provinsi yang harus dipecah-pecah menjadi beberapa daerah pemilihan (daerah pemilihan majemuk). Konsekwensinya, di sengaja atau tidak, pemecahan ini membuka peluang munculnya ‘partisan gerrymandering’ yang menguntungkan dan secara bersamaan merugikan partai tertentu. Selain itu, membagi-bagi provinsi ke dalam beberapa daerah pemilihan menjadikan peluang terjadinya disproporsionalitas suara menjadi semakin besar, padahal lazimnya sistem pemilu proporsional adalah perolehan suara partai berbanding lurus dengan perolehan kursi partai.

Berkaitan dengan itu, tulisan berikut ini berusaha mengeksplorasi disproporsionalitas suara dalam Pemilu DPR tahun 2004 ketika sebuah provinsi dibagi dalam beberapa daerah pemilihan (distrik majemuk), dan seandainya sebuah provinsi menjadi daerah pemilihan itu sendiri (daerah pemilihan tunggal) seperti yang terjadi pada pemilu 1999. Disproporsionalitas suara akan dilihat dalam tiga dimensi, yaitu sisa suara terbuang (wasted vote), kadar keterwakilan, dan indek disproporsionalitas. Daerah pemilihan di Provinsi NAD, Sumatera Utara, dan Jawa Barat dipakai sebagai ruang penjelas. Data yang dipakai adalah data sekunder yang berupa data agregate yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelanggara pemilu tahun 2004.

Representasi, Sistem Pemilu dan Disproporsionalitas

Persoalan keterwakilan (representasi) merupakan antitesis demokrasi langsung dan perwakilan merupakan tema ajeq dalam sejarah teori politik. Dalam khasanah teori politik konsep ini adalah sangat problematik. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan oleh rakyat, lalu bagaimana cara rakyat  berkuasa?

Ditunjukkan oleh Will Kymlicka (2002) betapa semua negara yang menganut demokrasi mengalami problem besar dalam tema ini. Ditunjukkannya, warga Amerika Afrika merupakan 12, 4% dari penduduk Amerika Serikat tetapi hanya memegang 1,4 dari keseluruhan kursi terpilih, orang-orang Amerika berbahasa Spanyol merupakan 8% dari jumlah penduduk namun hanya memegang 0,8% dari kursi yang dipilih. Di Kanada orang-orang Aborigin merupakan 3,4 dari jumlah penduduk, namun hanya memperoleh 1% kursi dalam legislatif. Ketimpangan representasi tersebut hanya sedikit contoh dari sedemikian banyak deret ketimpangan keterwakilan yang dapat disebut.

Dalam negara demokrasi, mekanisme yang digunakan untuk mengkonversi realitas masyarakat dalam bentuk representasi politik yang kemudian diwadahi dalam lembaga perwakilan atau yang populer dengan sebutan parlemen atau lembaga legislatif adalah pemilu. Melalui pemilu ada dua arus utama tentang makna representasi yang harus dikonversi dari masyarakat kedalam lembaga legislatif (Farrell, 1997:6).

Pertama, konsep ’mikrokosmos’ yang mengandaikan legislatif adalah ’sample’ dari populasi yang bernama masyarakat. Dengan kata lain, legislatif adalah gambar yang ada di dalam cermin dari sebuah benda yang ada di depannya, ia miniatur dari masyarakat. Sebagai gambar maka legislatif  sekedar pantulan dari kenyataan yang ada di dalam masyarakat tanpa ada penambahan ataupun pengurangan sedikitpun. Legislatif harus merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan bertindak.

Kedua,  konsep ’prinsipal-agen’. Konsep ini menyatakan bahwa yang penting dari legislatif adalah bagaimana ia dapat bertindak mewakili para pihak yang memilihnya. Asalkan legislatif dapat bertindak mewakili kepentingan para pihak yang memilihnya maka ia sudah dapat dikatakan representatif. Sedangkan bagaimanapun carut-marut komposisi statistik-sosiologis tidak menjadi persoalan yang patut untuk diributkan.

Dalam konteks konversi representasi tersebut, ada keyakinan bahwa sistem pemilu proporsional (Proportional Representative/PR) adalah sistem yang lebih dekat untuk merealisasikan konsep representasi mikrokosmos. Semenara itu, representasi ’prinsipal-agen’ diyakini diakomodasi dalam sistem pemilu distrik (Majoritarian).

Realitasnya, dari dua sistem pemilu yang ada tidak dapat disimpulkan mana yang lebih baik sistem proporsional atau distrik (Farrell, 1997:7). Menurut Farrell, setiap sistem pemilu melekat ’efek distorsi natural’’ (natural distorting effects) (Ibid,142). Satu wujud pasti yang disepkati oleh banyak ahli adalah masalah proporsionalitas atau disproporsionalitas.

Disproporsionalitas berarti penyimpangan antara pembagian kursi partai dengan perolehan suara yang mereka dapat. Bila dibalik, maka proporsionalitas yang sempurna adalah ketika setiap partai menerima kursi yang sama dengan jumlah suara yang mereka depatkan. Pada sistem pemilu proporsional, tingkat disproporsionalitasnya lebih rendah dibandingkan sistem pemilu distrik (Lihat Tabel 1). Rendahnya tingkat disproporsionalitas pada sistem pemilu proporsionalitas dibandingkan sistem pemilu distrik berkaitan dengan perbedaan prinsip pengalokasian kursi. Pada sistem proporsional, pengalokasian kursi partai secara teoritik berbanding lurus dengan perolehan suara partai dalam pemilu. Sementara itu, pada sistem pemilu distrik pengalokasian kursi pada dasarnya memakai prinsip ’the winner take all’. Pada prinsip ini, partai atau kandidat yang memperoleh suara terbanyak, meskipun tidak mayoritas mutlak, langsung dinyatakan sebagai pemenang. Dengan kata lain, perolehan suara yang besar dari sebuah partai dengan sistem pemilu distrik tidak menjamin perolehan kursi diparlemen. Perolehan Partai Hijau (Green Party) di Inggris pada Pemilu 1989 misalnya, meskipun partai itu memperoleh 15% suara nasional tetapi dia tidak mendapatkan kursi sama sekali pada legislatif nasional. Hal ini karena dalam perebutan kursi di setiap distrik partai ini tidak ada yang mendapatkan suara mayoritas.

Tabel 1

Rata-rata disproporsionalitas dan tipe sistem pemilu (digunakan dalam pemilu legislatif) di 36 negara demokrasi, 1945-1996

Disproportionality (%) Electoral System Disproportionality (%) Electoral System
Netherlands 1.30 PR Spain 8.15 PR
Denmark 1.83 PR Australia 9.26 Maj
Sweden 2.09 PR PNG 10.06 Plur
Israel 2.27 PR UK 10.33 Plur
Malta 2.36 PR-STV Colombia 10.62 PR*
Austria 2.47 PR New Zealand 11.11 Plur
Germany 2.52 PR India 11.38 Plur
Switzerland 2.53 PR Canada 11.72 Plur
Finland 2.93 PR Botswana 11.74 Plur
Belgium 3.24 PR Costa Rica 13.65 PR
Italy 3.25 PR Trinidad 13.66 Plur
Luxembourg 3.26 PR Venezuela 14.41 PR*
Ireland 3.45 PR-STV United States 14.91 Plur*
Portugal 4.04 PR Bahamas 15.47 Plur
Iceland 4.25 PR Barbados 15.75 Plur
Norway 4.83 PR Mauritius 16.43 Plur
Japan 5.03 SNTV Jamaica 17.75 Plur
Greece 8.08 PR France 21.08 Maj*

Sumber: Lijphart, 1999: 162

Meskipun demikian, dalam variasi dari sistem proporsional juga menyimpan tingkat disproporsionalitas tertentu. Pada negara-negara yang sama-sama menerapkan sistem proporsional juga memiliki tingkat disproporsionalitas yang berbeda. Hal ini terutama terkait dengan cara pendistrikan dan pengalokasian perolehan kursi partai.

Dalam banyak kasus, disproporsionalitas suara lahir sebagai rekayasa politik daripada sebuah kebetulan murni. Biasanya dilakukan oleh partai atau orang yang sedang berkuasa atau orang yang ingin berkuasa dengan memanfaatkan ketidakpahaman orang tentang hal ini. Salah satu cara paling populer adalah dengan menggunakan teknik gerrymandering.

Gerrymandering adalah suatu mekanisme untuk menentukan batas-batas distrik (daerah pemilihan). Gerrymandering sebagai cara untuk memberikan keuntungan pada pihak tertentu memakai prinsip maksimalisasi suara efektif pendukung dan meminimalisasi suara efektif lawan. Konsekwensi, karena satu partai berusaha memaksimalkan keuntungan suara pendukung dalam  salah satu distrik maka proporsionalitas suara yang dapat terwakili menjadi dipertanyakan. Akan banyak suara pemilih yang terbuang yang tidak dapat dikonversi di legislatif (the wasted vote effect). Dibanyak negara Eropa dan Amerika Serikat, teknik gerrymandering ini seringkali digunakan untuk memenangkan partai-partai yang sedang berkuasa atau partai yang ingin berkuasa. Pertimbangannya, dengan melakukan teknik gerrymandering dipastikan  perolehan kursi mereka diparlemen akan bertambah meskipun pendukungnya tidak berubah.

Untuk mengetahui disproporsionalitas suara, telah banyak rumusan yang dikembangkan oleh para ahli. Diantara yang sering digunakan adalah pengukuran yang dikembangkan oleh Rae (1967-index Rae), Loosemore dan Hanby (1971-index Loosemore-Hanby), Gallagher (1991-index least-squares), dan Lijphart (1994-index Largest-deviation) (Farrell, 1997: 145). Semua rumusan tersebut dapat digunakan untuk melihat proporsionalitas pada segala level: proporsionalitas pada rumpun sistem pemilu, formula pemilihan,level distrik, dan sebaginya  yang sama ataupun ataupun berbeda.

Yang perlu dicatat dari banyaknya rumusan untuk mengetahui indek disproporsionalitas ini  bahwa itu semua tidak lain adalah adanya kelemahan yang terkandung dalam masing-masing indek pengukuran yang kemudian berusaha diperbaiki oleh ahli lainnya. Indek Rae sebagai rumusan tertua misalnya, indek ini sangat sensistif dengan persentase yang didapatkan oleh partai-partai kecil. Akibatnya muncul index Loosemore-Hanby yang berusaha menutup kelemahan Indek Rae.

Disproporsionalitas Di Tiga Provinsi

Di Provinsi NAD, pada Pemilu 2004 jumlah penduduk di provinsi yang terkenal dengan sebutan serambi Mekah ini sebanyak 4.227.000 jiwa. Dari jumlah tersebut  jumlah pemilih sebanyak 2.502.883 orang. Total kursi yang diperebutkan sebanyak 13 kursi yang terbagi ke dalam 2 daerah pemilihan. Sedangkan di Sumatera Utara kursi yang diperebutkan merupakan kategori distrik besar, yaitu 29 kursi. Dari jumlah kursi tersebut kemudian di bagi kedalam 3 daerah pemilihan.  Jumlah di Sumatera Utara sendiri adalah sebanyak 11.890 jiwa. Dari jumlah tersebut  sebanyak 7.297.615 orang berhak menjadi pemilih.  Sementara itu di Jawa Barat, seperti di Sumatera Utara, merupakan kategori distrik besar, yaitu lebih dari 10 kursi yang diperebutkan. Jumlah penduduk adalah 38.059.552. Jumlah pemilih sebanyak 25.141.019. Kursi yang diperebutkan sebanyak 90 kursi. Provinsi ini dibagi kedalam 10 daerah pemilihan.

Di ketiga provinsi tersebut, disproporsionalitas suara dilihat dari sisa suara terbuang menunjukkan bahwa daerah pemilihan majemuk memperbesar sisa suara terbuang, dan daerah pemilihan tunggal memperkecil sisa suara terbuang. Sisa suara terbuang merupakan sisa suara dari partai politik yang tidak dikonversi menjadi kursi. Disemua provinsi yang diteliti dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa sisa suara terbuang lebih tinggi pada daerah pemilihan majemuk dibandingkan dengan  sisa suara terbuang di daerah pemilihan tunggal.

Di Provinsi NAD menunjukkan bahwa sisa suara terbuang di daerah pemilihan majemuk sebesar 0,04% sedangkan di daerah pemilihan tunggal adalah 0,02%. Terdapat selisih 0,02% sisa suara terbuang antara ketika NAD dibagi menjadi daerah pemilihan majemuk dengan daerah pemilihan tunggal.

Tabel

Perbandingan Sisa Suara Terbuang di Tiga Provinsi

Provinsi Total Pemilih Sisa Suara Terbuang
DP Majemuk DP Tunggal
NAD 2.105.477 917.997 0.04% 375.745 0.02%
Sumatera Utara 5.538.736 1.350.801 24.39% 494.429 8.93%
Jawa Barat 21.430.726 4870.581 22.73% 1295.748 6.05%

Demikian juga di Provinsi Sumatera Utara, sisa suara terbuang di daerah pemilihan majemuk lebih besar dibandingkan di daerah pemilihan tunggal. Di daerah pemilihan majemuk sisa suara terbuang adalah 24.39%, dan sisa suara terbuang di daerah pemilihan tunggal sebesar 8.93%. Terdapat selisih sebesar 15,46% lebih besar sisa suara terbuang di daerah pemilihan majemuk.

Sementara itu di provinsi Jawa Barat menunjukkan hal yang sama dengan kecenderungan sisa suara terbuang di Provinsi NAD dan Sumatera Utara. Sisa suara terbuang pada daerah pemilihan majemuk sebesar 22.73%, sedangkan pada daerah pemilihan tunggal sebesar 6.05%. dengan demikian, selisih sisa terbuang antara dua jenis daerah pemilihan untuk di Jawa Barat adalah 16.68%.

Meskipun demikian, bukan sebuah pola apabila semakin tinggi kemajemukan daerah pemilihan maka semakin tinggi sisa suara terbuang.  Hal itu terlihat dari selisih sisa suara terbuang yang terjadi di Sumatera Utara dengan di Jawa Barat. Di Jawa Barat, tingkat kemajemukan daerah pemilihan lebih tinggi dibandingkan di Sumatera Utara tetapi selisih sisa suara terbuang antara daerah pemilihan tunggal dan majemuk di provinsi tersebut lebih tinggi di Sumatera Utara.

Sementara itu, disproporsionalitas suara dilihat dari kadar keterwakilan memperlihatkan bahwa daerah pemilihan majemuk dan daerah pemilihan tidak mempengaruhi kadar keterwakilan. Kadar keterwakilan menunjukkan berapa besar suara yang diperoleh partai mampu ditransfer ke dalam kursi. Di semua daerah penelitian secara umum menunjukkan tidak ada pola yang pasti tentang kadar keterwakilan di daerah pemilihan tunggal maupun di daerah pemilihan majemuk. Di semua daerah pemilihan,tunggal maupun majemuk, di ketiga provinsi yang diteliti menunjukkan wajah ganda kadar keterwakilan, yaitu representasi yang berlebihan (over representasi), dan dibawah representasi (under representation).

Pada daerah pemilihan tunggal, di NAD over representasi terjadi pada 7 partai dari 10 partai yang mendapatkan kursi. Golkar, PKB, PDIP dan PNUI adalah beberapa partai yang beruntung dengan format daerah pemilihan tunggal. Proporsi perolehan kursi mereka melebihi proporsi suara yang mereka kumpulkan. Sementara itu, PPP merupakan partai yang sangat dirugikan dalam daerah pemilihan tunggal. sebanyak 6,1% suara PPP tidak terwakili secara baik.

Sementara itu di Sumatera Utara, masih dengan daerah pemilihan tunggal, over representasi terjadi pada 12 partai dari 15 partai yang mendapatkan kursi. Beberapa partai yang paling diuntungkan diantaranya adalah PPP, PNBK dan PDIP dibandingkan PDS. Ketiga partai yang disebut pertama representasi perwakilannya berlebih dibandingkan PDS yang justru proporsionalitas representasinya kurang.

Di Jawa Barat, over representasi terjadi pada 12 partai, dan hanya satu partai yang proporsionalitas representasinya baik (proporsionalitas / representative) yaitu PDS. PDS memiliki representasi yang paling bagus karena antara perolehan suara dengan perolehan kursi sebanding.

Tabel

Perbandingan Kadar Keterwakilan di Tiga Provinsi

(dalam %)

Partai NAD Sumatera Utara Jawa Barat
DP

Tunggal

DP

Majemuk

DP

Tunggal

DP

Majemuk

DP

Tunggal

DP

Majemuk

PBSD -1.4 2.0
PBB -2.4 -2.4 -1.9 1.6 -0.5 1.7
PPP 6.1 -1.5 -3.2 -3.2 -0.9 -4.2
PIB -1.3 2.1
PNBK -2.3 1.1
PD -1.6 -9.3 -1.1 -4.6 -0.2 -2.4
PNUI -4.8 2.9
PKPI -1.8 1.6
PAN -2.1 -2.1 -1.2 -4.6 -0.3 -3.7
PKPB -0.2 2.1
PKB -3.9 3.8 -5.5 -3.3
PKS 1.4 -6.2 -0.3 3.2 -0.1 -3.4
PBR -0.3 -8.0 0.7 -6.2 -0.4 1.8
PDIP -3.6 4.1 -2.3 -2.3 -0.9 -3.1
PDS 0.8 -6.1 0.0 0.0
GOLKAR -6.9 0.8 -0.2 -0.2 -0.8 0.3
PANCASILA -0.4 3.1
PELOPOR -1.3 2.2 -0.6 3.8
Jumlah -6.2 -17.9 -17.2 -10.3 -10.4 -10.4

Keterangan: tanda (-) artinya over representation, apabila tidak ada tanda (-) berarti under representation

Pada daerah pemilihan majemuk, di NAD dari 10 partai yang memperoleh alokasi kursi terdapat 6 partai yang proporsionalitas representasinya berlebihan. Proporsinalitas yang berlebihan itu terutama terjadi pada PD, PBR, dan PKS yang selisih proporsionalitasnya melebihi 5%. Ketiga partai sangat diuntungkan dengan formasi pembagian daerah pemilihan majemuk karena dengan suara yang terbatas mampu meraih proporsi kursi yang besar. Berbeda dengan ketiga partai itu, PDIP dan PKB  adalah partai yang dirugikan dalam format daerah pemilihan majemuk. Di Sumatera Utara, proporsionalitas yang berlebihan terjadi pada PDS, PBR, PAN, PD, dan PKB. Perolehan kursi mereka berdasarkan suara yang mereka peroleh melebihi dari yang seharusnya. Partai-partai itu sangat diuntungkan dengan daerah pemilihan majemuk. Sementara itu, Partai Pancasila, PKS, PBSD, PIB dan partai pelopor adalah  partai-partai yang dirugikan dalam daerah pemilihan majemuk di Sumatera Utara. Proporsi keterwakilan suara yang mereka peroleh adalah rendah. Kemudian di Jawa Barat, PPP merupakan partai yang proporsionalitas suaranya berlebihan, diikuti oleh PAN, PKB, dan PKS. Sementara itu, partai-partai yang dirugikan di Jawa Barat adalah PKPB, PBB dan Golkar. PDS merupakan partai yang representasinya berimbang.

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa, seperti telah disebutkan di atas bahwa tidak ada pola yang pasti tentang kadar keterwakilan di daerah pemilihan tunggal maupun di daerah pemilihan majemuk. Di semua daerah pemilihan,tunggal maupun majemuk, di ketiga provinsi yang diteliti menunjukkan wajah ganda kadar keterwakilan, yaitu representasi yang berlebihan (over representasi), dan dibawah representasi (under representation).

Meskipun demikian, terdapat satu pola dalam kadar keterwakilan ini bahwasanya over representasi banyak terjadi pada daerah pemilihan tunggal. Di NAD, over representasi pada DP Tunggal adalah 8 partai, di DP Majemuk adalah 6 partai; di Sumatera Utara, over representasi pada DP tunggal sejumlah 13 partai, di DP majemuk 7 partai. Terakhir, over representasi di Jawa Barat di DP Tunggal ada 10 partai, di DP majemuk 6 partai.

Banyaknya partai yang over representasi dengan skenario daerah pemilihan tunggal tersebut menjadikan wakil-wakil yang terpilih tidak jelas ia sedang mewakili siapa. Demikian juga dengan DP majemuk, dengan banyaknya proporsionalitas yang terbatas (under representation) menjadikan banyak suara pemilih yang tidak terwakili secara baik di parlemen. Pada situasi tersebut, konsep representasi dalam kontek itu menjadi problematik. Ketika sebuah daerah di bentuk DP tunggal ia akan over representasi, sedangkan apabila di bentuk DP majemuk akan terjadi under representasi.

Terakhir, disproporsionalitas suara dilihat dari indek disproporsionalitas suara menunjukkan bahwa distrik majemuk mempertinggi index disproporsionalitas, distrik tunggal memperkecil  index disproporsionalitas. Indek disproporsionalitas menunjukkan derajat disproporsionalitas suara dalam suatu sistem pemilu. Dari ketiga provinsi yang diteliti memperlihatkan bahwa indek disproporsionalitas daerah pemilihan majemuk lebih tinggi dibandingkan pada daerah pemilihan tunggal. artinya, disproporsionalitas di daerah pemilihan majemuk lebih tinggi dibandingkan pada daerah pemilihan tunggal.

Di NAD, indek disproporsionalitas di daerah pemilihan majemuk tidak memiliki selisih yang banyak dengan daerah pemilihan tunggal. Sementara itu, indek disproporsinalitas di Sumatera Utara, indek disproporsionalitas di daerah pemilihan tungal separuh dari daerah pemilihan majemuk. Di Jawa Barat, indek disproporsionalitas di daerah pemilihan tunggal memiliki selisih seperempatnya dari daerah pemilihan  majemuk.

Tabel

Perbandingan Index Disproporsionalitas Di Tiga Provinsi

(dalam %)

Provinsi Jumlah

Daerah

Pemilihan

Alokasi

Kursi

Indek Disproporsionalitas
DP Majemuk DP Tunggal Selisih
NAD 2 13 9.01 8.68 0.33
Sumatera Utara 3 29 8.47 4.31 4.16
Jawa Barat 10 90 6.58 4.11 2.47

Apabila kita hubungkan antara jumlah daerah pemilihan di ketiga provinsi dengan indek disproporsionalitas terlihat ada semacam pola dalam relasi itu. Jawa Barat dengan jumlah daerah pemilihan yang lebih besar ternyata memiliki indek disproporsionalitas yang lebih kecil dibandingkan dengan provinsi yang memiliki jumlah daerah pemilihan yang lebih kecil. Artinya, jumlah daerah pemilihan yang  kecil/sedikit memperbesar indek disproporsionalitas, dan sebaliknya, jumlah daerah pemilihan memperkecil indek isproporsionalitas suara.

Sementara itu, relasi antara alokasi kusi di sebuah provinsi (district magnitude) dengan indek disproporsionalitas juga sebuah menunjukkan pola dalam hubungan itu. ada semcam hubungan yang terbalik, yaitu semakin besar alokasi kursi maka semakin kecil indek disproporsionalitas. NAD yang alokasi kursinya berjumlah 13 kursi indek disproporsionalitasnya lebih besar dbandingkan Sumatera Utara dan Jawa Barat, sedangkan Sumatera Utara yang alokasi kursinya lebih kecil dibandingkan Jawa Barat memiliki indek disproporsionalitas yang lebih tinggi dibandingkan jawa barat yang memiliki alokasi kursi yang lebih tinggi.

Relasi antara besaran alokasi kursi dengan besaran indek disproporsionalitas ini memperkuat bekerjanya ‘efek makanik’ dari sistem pemilu pr[1]oporsional. Apabila indek disproporsionalitas di ketiga provinsi itu dibandingkan disproporsionalitas hasil pemilu tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa di NAD dan Sumatera Utara mengalami perbaikan, sedangkan di Jawa Barat situasinya justru semakin buruk. Dalam riset yang dilakukan oleh Dwight Y. King memperlihatkan bahwa di ketiga provinsi tersebut, disproporsionalitas NAD, Sumatera Utara dan Jawa Barat masing-masing adalah sebesar 16,2; 10,9; dan 3,4.

Dampak Disproporsionalitas

1. Derajat Pluralitas Partai

Dari pemaparan sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan bahwa disproporsionalitas yang kecil yang ada pada daerah pemilihan tungal semakin mempertinggi derajat pluralitas partai di parlemen dibandingkan pada daerah pemilihan majemuk. Dengan daerah pemilihan majemuk maka hanya sedikit partai yang dapat memperoleh kursi atau terwakili di DPR. Ini berbeda dengan pada daerah pemilihan tunggal, banyak partai boleh ikut berbagi kursi di parlemen.

Tabel

No Jumlah Partai Sisa Suara terbuang
DP Tunggal DP

Majemuk

DP Tunggal DP

Majemuk

1 NAD 10 7 0.02% 0.04%
2 Sumatera Utara 15 9 8.93% 24.39%
3 Jawa Barat 12 9 6.05 22.73%

Di NAD, sisa suara terbuang yang lebih rendah di daerah pemilihan tunggal  menghadirkan 10 partai politik  dibandingkan daerah pemilihan majemuk yang hanya membagi kursi DPR kepada 7 partai politik. PPP, PD, PKS dan PBR lebih diuntungkan lewat daerah pemilihan majemuk. Keempat partai tersebut memperoleh tambahan satu kursi jika dibandingkan memakai daerah pemilihan tunggal. Sementara itu, jika memakai daerah pemilihan tunggal, PNUI, PKB, PDIP, dan Golkar merupakan partai yang diuntungkan. Dalam daerah pemilihan majemuk, partai-partai itu, yaitu PNUI, PKB, dan PDIP, tidak mendapatkan kursi, dengan memakai daerah pemilihan tungal partai-partai tersebut berhasil memperoleh kursi DPR. Sementara itu, Golkar mendapatkan tambahan satu kursi pada daerah pemilihan tunggal ini.

Pluralitas partai dengan daerah pemilihan tunggal juga terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Di Sumatera Utara, terdapat 15 partai yang memperoleh kursi di parlemen dengan daerah pemilihan tunggal, dan hanya 9 partai yang memperoleh kursi dengan daerah pemilihan majemuk. Dengan demikian, dengan daerah pemilihan majemuk terdapat 6 partai yang tidak terepresentasi di DPR, kecuali memakai daerah pemilihan tunggal. Keenam partai yang tidak terepresentasi dengan daerah pemilihan majemuk adalah PBSD, PBB, PIB, PNBK, PKPI dan Partai Pancasila.  Ketika keenam partai itu tidak memperoleh kursi di daerah pemilihan majemuk, beberapa partai yang memperoleh keuntungan adalah PPP, PD, PAN, PBR, PDS, Partai Pelopor.

Sementara itu, di Jawa Barat terdapat 12 partai yang memperoleh kursi di DPR dengan daerah pemilihan tunggal, lebih banyak partai yang memperoleh kursi di DPR dibandingkan ketika memakai daerah pemilihan majemuk yang hanya menghadirkan 9 partai. PBR, PKPB, dan Pelopor merupakan partai-partai yang diuntungkan dengan daerah pemilihan tunggal karena ketika memakai daerah pemilihan majemuk partai-partai itu tidak memperoleh kursi di DPR.

Dengan tinggnya derajat pluralitas partai maka dilihat dari segi perwakilan politik semakin baik format representasi yang dihadirkan. Berbagai spektrum ideologi  yang hadir di masyarakat dapat muncul ke panggung politik.  Berbagai kepentingan masyarakat dapat diartikulasikan melalui wakil-wakil yang mereka pilih.

2. Tingkat Keadilan

Disproporsionalitas suara menimbulkan persoalan keadilan, yaitu apakah perolehan suara sebuah partai diperlakukan sama seperti perlakukan terhadap suara yang diperoleh oleh partai yang lain. Pemaparan dibagian-bagian sebelumnya secara implisit telah mengungkapkan problem keadilan ini. Tidak hanya di satu provinsi persoalan keadilan itu muncul tetapi di semua provinsi yang menjadi objek penelitian.

Di NAD, dengan daerah pemilihan majemuk ketidakadilan dialami oleh PPP dan Golkar. Dengan suara mencapai 13% perolehan kursi PPP adalah 2 kursi, kontras dengan PD yang memperoleh jumlah kursi yang sama padahal perolehan suaranya hanya separuh dari suara PPP, yaitu 6,1%.  Demikian juga dengan Golkar, perolehan kursinya hanya 2, padahal suara yang dikumpulkan mencapai 16,2%.

Ketidakadilan dalam alokasi kursi juga terjadi di Sumatera Utara. PKS merupakan partai yang paling malang dalam formasi daerah majemuk. Dengan suara 6,6% PKS hanya memperoleh 1 kursi. Hal ini kontras dengan perolehan kursi PAN, PD, PBR, PDS yang perolehan suaranya di bawah PKS. Keempat partai itu masing-masing memperoleh 3 kursi  padahal suaranya dibawah PKS.

Lagi-lagi ketidakdilan ditemukan dalam daerah pemilihan majemuk di Jawa Barat. PKB adalah partai yang menerima ketidakadilan ini. Dalam daerah pemilihan majemuk, suara PKB dengan PAN tidak terpaut jauh, masing-masing adalah 5% dan 5,2%. Tetapi PKB hanya memperoleh 3 kursi, bandingkan dengan PAN yang memperoleh 8 kursi. Ketidakadilan juga dialami oleh PBR. Partai tersebut dalam daerah pemilihan majemuk dengan suara 1, 8 tidak mendapatkan kursi. Sementara itu PDS yang suaranya 1,1% memperoleh satu buah kursi.

Dengan melihat hal tersebut diatas terlihat bahwa ketidakadilan banyak menyelimuti partai-partai pada daerah pemilihan majemuk. Keadaan itu akan relatif berubah seandainya memakai daerah pemilihan tunggal. Di Jawa Barat misalnya, ketidakadilan yang diterima PKB pada daerah pemilihan majemuk tidak akan terjadi kalau memakai daerah pemilihan tungal. Di daerah pemilihan tunggal, PKB akan mendapatkan kursi sama dengan yang diperoleh PAN, yaitu 5 kursi. Derajat keterwakilan yang diperoleh PDIP, PPP, dan PD pun akan lebih proporsional pada daerah pemilihan tunggal daripada majemuk.

Dalam perspektif komparatif, menurut Reynolds ketidakadilan seperti ini juga pernah dialami oleh partai-partai yang berada di Inggris, yaitu terjadi tahun 1951 dan 1954, dimana partai-partai yang memenangkan sebagian besar suara mendapatkan kursi yang lebih sedikit dibandingkan lawan politiknya.[2] Karena situasi itu bukan hanya dipandang tidak adil oleh banyak pihak, tetapi juga berbahaya bagi demokrasi karena ketidakpuasan atas partai-partai itu dapat dalam jangkan panjangn dapat mengganggu stabilitas pemerintahan karena dipandang tidak legitimate.

Penutup

Dengan melihat peluang problem disproporsionalitas dalam sistem proporsional, penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwasanya disproporsionalitas suara pada daerah pemilihan majemuk, yaitu satu provinsi dibagi kedalam beberapa daerah pemilihan, lebih tinggi dibandingkan dengan sebuah provinsi menjadi satu daerah pemilihan tunggal. Pertama, dilihat dari sisi sisa suara terbuang, dari ketiga provinsi yang diteliti dan diskenariokan, sisa suara terbuang pada daerah pemilihan majemuk lebih tinggi dibandingkan sisa suara terbuang di daerah pemilihan tunggal.

Kedua, dilihat dari kadar keterwakilan, daerah pemilihan majemuk dan daerah pemilihan tidak mempengaruhi kadar keterwakilan.  Meskipun demikian, derajat keterwakilan di daerah pemilihan tunggal lebih baik dibandingkan di daerah pemilihan majemuk. Terakhir, dilihat dari indek disproporsinalitas, dengan memakai rumusan Gallagher yaitu Index Least-Squares, menunjukkan bahwa daerah pemilihan majemuk mempertinggi indek disproporsionalitas, dan sebaliknya.

Implikasi yang muncul dari disproporsionalitas itu ada dua, pertama, pluralitas partai politik yang terbentuk. Pada daerah pemilihan majemuk, pluralitas politik lebih terbatas dibandingkan pada daerah pemilihan tunggal. daerah pemilihan tunggal menghadirkan spketrum partai politik yang lebih luas dibandingkan daerah pemilihan tunggal. Banyak partai yang harus tereliminasi, dalam arti tidak mendapatkan kursi parlemen,  ketika berada pada daerah pemilihan majemuk. Sementara itu, dengan daerah pemilihan tunggal partai-partai yang dieliminasi dalam daerah pemilihan majemuk dapat muncul sebagai sebuah kekuatan politik di parlemen.

Implikasi kedua adalah persoalan keadilan politik. Pada daerah pemilihan majemuk diskriminasi terhadap partai-partai lebih banyak dijumpai dibandingkan pada daerah pemilihan tunggal. Dengan perolehan suara yang sama atau berada dalam rentang yang dekat, pada daerah pemilihan majemuk ketidakadilan begitu nyata. Beberapa ketidakadilan itu diantaranya: (1) partai dengan perolehan suara yang sama belum tentu memperoleh kursi yang sama; (2) partai dengan perolehan suara yang lebih tinggi belum tentu memperoleh kursi yang lebih tinggi; (3) partai yang perolehan suaranya sama belum tentu sama-sama mendapatkan kursi. Kondisi itu berbeda ketika berada di daerah pemilihan tunggal. beberapa anomali itu, setidaknya dari segi kuantitas, dapat diminimalisasi.

Berangkat dari persoalan tersebut, desain sistem pemilu proporsional saat ini sesungguhnya sedang dalam masalah dalam hal representasi politik. Oleh karena itu diperlukan sebuah langkah untuk mengatasinya. Berfikir untuk menghilangkan daerah pemilihan adalah tidak mungkin karena spirit dari adanya daerah pemilihan itu adalah dalam rangka membentuk konstituensi. Dengan daerah pemilihan yang kecil diharapkan akan lahir wakil-wakil rakyat yang mengakar di daerah pemilihan tersebut sehingga akuntabilitas wakil rakyat dapat dikontrol. Dalam hemat penulis, memperkecil daerah pemilihan justru semakin relevan agar konstituensi dapat dibangun secara lebih kokoh. Hanya saja, problem disproporsionalitas harus dipecahkan.

Beberapa kebijakan yang dapat diambil untuk mengatasi problem disproporsioanliatas itu diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, membuat penghitungan berlapis-lapis. Melalui metode ini, kursi di sebuah daerah pemilihan hanya dialokasikan kepada sebuah partai apabila partai itu memenuhi secara sempurna bilangan pembagi pemilih. Apabila masih terdapat sisa kursi yang belum habis dibagi maka sisa suara partai yang ada ditarik ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu provinsi, untuk digabungkan dengan suara di daerah lain yang alokasi kursinya belum habis dibagi. Sistem ini dipakai terus, dalam arti ditarik kelevel yang lebih tinggimisalnya nasional, sampai kursi habis dibagi kepada partai-partai yang dapat memenuhi bilangan pembagi pemilih secara sempurna.

Cara kedua adalah dengan membagi kursi parlemen ke dalam dua jenis perwakilan. Perwakilan pertama adalah perwakilan yang diisi melalui penghitungan berdasarkan perolehan suara di daerah pemilihan. Sedangkan perwakilan kedua diisi melalui distribusi kepada partai-partai yang mengalami disproporsionalitas, dalam arti ada suara partai yang belum terkonversi secara adil dalam kursi parlemen. Misalkan saja ada 560 kursi DPR. Dari jumlah tersebut, 500 kursi diperebutkan kepada partai-partai dalam pemilu melalui sejumlah daerah pemilihan, sedangkan sisanya, yaitu 60 kursi dialokasikan kepada partai-partai yang mengalami disproporsionalitas suara.

Dengan kedua cara itu, dua keuntungan dapat diraih sekaligus, konstituensi wakil rakyat tetap dapat dimaksimalkan dengan adanya daerah pemilihan yang majemuk, dan secara bersamaan disproporsionalitas suara dapat diminimalkan.***

BACAAN

Emilda, Lily, Kompleksitas Permasalahan Penyelenggaraan Pilkada Langsung Walikota Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2007

Farrell, David M., Electoral Systems: A Comparative Introduction, Oxford UP, New York, 2001

International IDEA, Standar-Standar Internasional Pemilihan Umum Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum, International IDEA,Swedia, 2002 (edisi Indonesia)

Kartawidjaya, Pipit Rochijat, Alokasi Kursi: Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih, Elsam, Jakarta, 2003

KPU Dalam Pemilu 2004: Perjuangan Membangun Kemandirian dan Kapabilitas, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2005

Kristiadi, Josef, Pemilu dan Perilaku Pemilih, Disertasi, UGM, Yogyakarta,1993

Kymlica, Will, Kewargaan Multikultural (terj), LP3ES, Jakarta, 2003

Lijphart, Arend, Electoral System and Party Systems: A Study of Twenty-Sevwn Democracies 1945-1990, Oxford UP, New York, 1995

Lijphart, Arend, Patterns od Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale UP, New Haven London, 1999

Muttaqien, Imam, Sikap dan Perilaku Politik Aktivis IMM dalam Pemilu 2004, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2006

Rahayu, Ilmia Astuti, Kuasa Uang Atas Pemilu, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2006

Reilly, Ben dan Andrew Reynolds, Sistem Pemilu, IFES Indonesia, Jakarta, Tanpa tahun

Reynolds, Andrew, et.al., Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, IDEA, Sweden, 2005,

Setiawan, Agus, KPU Provinsi DIY 2003-2004: Pergulatan dalam Pelembagaan Organisasi, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2007

Wulansari Dyah Rahayu, Politik Pencitraan, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta, 2006

http://en.wikipedia.org/wiki/Electoral_system


[1] Lihat Dwight Y. King, Half-Hearted Reform: Electoral Institution and The Struggle for Democracy In Indonesia, Praeger, London, 2003, hal.  94

[2] Andrew Reynolds, Membantu Terbentuknya Pemerintah yang Stabil dan Efisien, dalam IDEA, Sistem pemilu, Kerjasama IDEA-United nations-IFES, tanpa tempat dan tahunpenerbitan, 32.

3 Responses to “DISPROPORSIONALITAS SUARA DALAM PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2004”

  1. Hi, I enjoy your website. This is a nice site and I wanted to post a comment to let you know, good job! Thanks Amy

    Louis Vuitton

    vuitton

    louis vuitton

  2. why not…

    cloftero-online

  3. I just happen to land to this blog and it is a good written read, a little bit on the short side, but a pretty sufficient one.
    I definetly love the layout too, it is altogether very easy to navigate.

    prizes

Leave a Reply