Oleh: Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Putusan MK tentang calon terpilih berdasarkan suara terbanyak telah memunculkan sikap pesimis mengenai nasib caleg perempuan. Putusan itu dianggap menutup peluang perempuan untuk menuai berkah dari sistem nomor urut bersyarat. Dengan putusan itu, sistem zipper one in three dalam pencalegan kemudian menjadi mandul dalam mengkatrol keterpilihan perempuan.
Pasca putusan MK tersebut, beberapa pihak kemudian berupaya menyelamatkan keterpilihan caleg perempuan. KPU dengan didukung aktivis perempuan mewacanakan tafsir sistem suara terbanyak yang sensitif dengan isu gender. Wacana yang digulirkan adalah agar dari setiap tiga calon yang terpilih berdasarkan suara terbanyak salah satunya menyertakan caleg perempuan.
Wacana itu ternyata tidak disambut baik, bahkan terkesan ditanggapi secara minor oleh DPR. Pemerintah yang diharapkan lebih dapat sensitif dengan isu gender juga tidak merespon. Pemerintah berposisi putusan MK adalah self execute. Pemerintah hanya berkomitmen mengeluarkan Perppu yang terkait dengan perubahan daftar pemilih tetap dan keabsahan penandaan suara.
Dengan demikian, strategi affirmative action melalui penetapan calon terpilih kemungkinan besar akan gagal. Satu-satunya harapan agar perempuan dapat meningkatkan keterwakilannya di parlemen adalah melalui kompetisi bebas pemilu.
Di tengah sumberdaya ekonomi, pengalaman dan jejaring sosial dikuasai oleh laki-laki, bagaimanakah caleg perempuan dapat survive dalam kompetisi elektoral ini?
Blok Politik
Dalam sistem suara terbanyak, terjadi kompetisi tidak hanya inter-partai tetapi juga intra-partai. Masing-masing caleg saling berlomba agar mereka meraup suara sebanyak-banyaknya. Tidak peduli apakah mereka berkompetisi dengan caleg dari partai lain atau partai sendiri, seorang caleg berusaha memaksimalisasi kepentingannya sendiri. Untuk memperebutkan kursi legislatif pada level yang sama, kompetisi berlangsung sangat individualistik.
Dengan kompetisi seperti itu, disinilah titik kritis caleg perempuan. Ia tidak boleh larut dengan pola kompetisi yang lahir dari sistem suara terbanyak yang serba individualistik. Caleg perempuan perlu menarik diri dari kompetisi seperti itu.
Bagi caleg perempuan, jalan yang perlu ditempuh adalah melakukan kolektivitas kampanye sesama caleg perempuan. Kolektivitas itu dibangun baik dari sesama caleg perempuan intra partai maupun inter partai. Intinya, caleg perempuan di semua partai harus menjadi blok politik tersendiri. Blok politik itu bersifat lintas partai.
Sebagai blok politik tersendiri, setiap caleg perempuan dalam kampanye saling mendukung bahkan saling mengkampanyekan caleg perempuan apapun partainya. Mereka harus membuang paradigma kampanye individualistik yang menempatkan semua caleg, baik caleg laki-laki maupun perempuan di dalam maupun diluar partainya, sebagai kompetitor. Kompetitor mereka saat ini adalah caleg laki-laki darimanapun partainya.
Gagasan perempuan sebagai blok politik tersendiri dalam kompetisi elektoral ini dapat dirangkum dengan bahasa “apapun partainya, pilih caleg perempuan”. Dengan cara itu, caleg perempuan tidak hanya telah menyederhanakan kompetisi tetapi sekaligus memperbesar peluang keterpilihan dalam sistem suara terbanyak.
Gagasan itu akan terwujud dengan catatan, yaitu masing-masing caleg perempuan menyadari bahwa kehadiran mereka dalam panggung politik tidak lain sebagai bagian dari perjuangan gerakan perempuan. Mereka hadir tidak sekedar untuk mereka sendiri atau untuk partainya. Lebih dari itu, kehadiran mereka adalah bagian dari perjuangan gerakan perempuan.
Anti Tesis
Sebagai blok politik, caleg perempuan juga perlu mengusung isu bersama sehingga tidak saling mendiskualifikasi. Pintu masuknya dapat mengambil titik lemah dari citra politik laki-laki. Keras, mengabaikan kepentingan perempuan dan anak, kurang sensitif dengan dampak krisis ekonomi, serta koruptif merupakan citra politik laki-laki selama ini.
Caleg perempuan perlu mengambil anti tesis atas citra politik politikus laki-laki tersebut. Profile yang berbeda dengan politikus laki-laki perlu ditampilkan oleh caleg perempuan dalam kampanye-kampanye politiknya. Profile yang dapat dikembangkan oleh politikus perempuan diantaranya menempatkan pencalegan bukan sebagai ambisi pribadi seorang caleg, perhatian yang lebih terhadap isu perempuan dan anak serta ekonomi keluarga, dan menunjukkan perilaku politik yang bersih.
Dengan menampilkan isu bersama itu, semua segmen pemilih pada dasar relevan untuk dimasuki karena isu yang diangkat caleg perempuan menyangkut kepentingan bersama. Meskipun demikian, pemilih perempuan dan pemula merupakan segmen pemilih potensial. Selain karena secara kuantitas dua segmen pemilih tersebut memiliki jumlah yang signifikan, kedua segmen tersebut merupakan pemilih yang relatif mudah ditarik empatinya oleh caleg perempuan.
Pemilih perempuan yang jumlahnya lebih dari 50% adalah pemilih yang sangat paham tentang persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan. Sementara itu, pemilih pemula yang jumlahnya mencapi 16% adalah pemilih yang relatif masih ‘putih’. Siapa yang efektif berkomunikasi dengan pemilih pemula akan dapat mempengaruhi preferensi politiknya.
Women Campaign Centre (WCC)
Selain melakukan hal-hal tersebut diatas, untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya dan sistematisasi kampanye perlu dipikirkan satu lembaga yang membantu caleg perempuan dalam kompetisi elektoral ini. Lembaga itu semacam pusat kampanye perempuan (Women Campaign Centre/WCC). Dengan lembaga ini, kampanye perempuan diarahkan untuk menghindari kompetisi yang bersifat individualistik.
Fungsi utama dari WCC adalah menjadi think thank keseluruhan caleg perempuan. Sebagai think thank, lembaga ini memasok strategi kampanye, merancang isu, dan menyediakan informasi-informasi tentang pemilih dan peta persaingan. Lembaga ini juga memberi ketrampilan caleg perempuan dalam mempersuasi pemilih. Selain itu, lembaga ini juga bertugas mengembangkan image politik caleg perempuan sebagai politikus yang berbeda dengan politikus laki-laki pada umumnya.
Selain melakukan tugas-tugas tersebut diatas, hal yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh WCC adalah melakukan evaluasi atas metode berkampanye caleg perempuan. Sejauhmana kampanye-kampanye yang telah dilakukan saat ini membuahkan hasil yang menggembirakan. Berapa prosentase pemilih yang akan memilih caleg perempuan menjadi teka-teki paling mendesak yang harus dipecahkan untuk kemudian diambil langkah-lanhkah yang diperlukan.
Untuk merealisasikan keseluruhan pemikiran-pemikiran dalam tulisan ini, konsolidasi antar caleg perempuan perlu dilakukan. Disini, aktivis gerakan perempuan menjadi simpul penting. Mereka perlu mengkonsolidasikan kekuatan caleg perempuan agar perjuangan keterwakilan perempuan di parlemen dapat diselamatkan.***
[1] Pernah dipresentasikan pada dialog publik yang diselenggarakan oleh LPP Aisyiyah, Yogyakarta, 28 Februari 2009. Makalah ditulis dengan judul “Meningkatkan Elektabilitas Caleg Perempuan dalam Sistem Suara Terbanyak”
semangat gan. thanks for your share gan
pakaian wanita import
July 13th, 2010
I would like to exchange links with your site sigitp.staff.ugm.ac.id
Is this possible?
april_wang
August 12th, 2010
A nice simple article but it reads as though the writters first language is not English. An editor would be welcome.
parvovirus in dogs
September 6th, 2010