Oleh: Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
Banyak kalangan mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya penurunan partisipasi pemilih (voter turn out) dalam pemilu 2009, yang berarti peningkatan angka golput. Kekhawatiran paling paling kontemporer dan kemudian melahirkan kontroversi adalah keluarnya fatwa MUI tentang haramnya golput. Sebelumnya, ekspresi kekhawatiran terhadap fenomena golput disampaikan oleh Megawati dengan menyatakan bahwa sebaiknya mereka yang golput tidak usah menjadi warga negara indonesia.
Kekhawatiran melonjaknya angka golput itu dimulai dari menurunnya partisipasi pemilih dalam pemilu 2004 yang lebih rendah dibandingkan pemilu sebelumnya. Pada pemilu 1999 partisipasi pemilih mencapai 91,69%, sedangkan pada pemilu 2004 adalah 84%, atau turun sekitar 7%. Kekhawatiran semakin bertambah dengan rendahnya tingkat kehadiran pemilih dalam sejumlah pilkada. Misalnya dalam pilkada yang berlangsung antara juni-juli 2005, rata-rata partisipasi pemilih adalah lebih rendah daripada pemilu nasional tahun 2004, yaitu hanya 73,1%.
Kekhawatiran tentang itu semakin lengkap dengan munculnya prediksi dari berbagai lembaga survei dan pengamat politik yang menyatakan bahwa golput dalam pemilu kali ini berkisar antara 30%-40%. Jika demikian adanya, golput akan menjadi pemenang dalam pemilu 2009.
Oleh mereka yang melihat golput sebagai sebuah persoalan, meningkatnya angka golput umumnya dipandang akan mengurangi derajat legitimasi pemerintahan yang terbentuk. Pada konteks itu, angka golput sering dilihat berbanding terbalik dengan derajat legitimasi. Semakin tinggi angka golput maka semakin rendah derajat legitimasi pemerintahan. Sebaliknya, semakin rendah angka golput semakin tinggi tingkat legitimasi pemerintahan, institusi-institusi politik dan demokrasi.
Tafsir Golput
Di setiap pemilu, fenomena golput merupakan fenomena universal. Fenomena itu ada di semua negara yang mempraktekkan demokrasi elektoralisme, baik di negara maju maupun berkembang dan terbelakang.[2] Hanya saja, fenomena itu memiliki makna politik yang tidak sama.
Secara kategoris, fenomena golput dapat ditafsir dengan beberapa cara. Pertama, golput adalah fenomena teologis.[3] Fenomena ini terkait dengan tafsir keagamaan yang memandang keikutsertaan dalam pemilu dan mengakui demokrasi sebagai suatu hal yang dilarang agama. Dalam perspektif ini, keterlibatan dalam pemilu adalah sebuah dosa.
Kedua, golput adalah fenomena protes. Fenomena ini terutama di negara-negara yang demokrasinya baru mekar. Fenomena golput adalah ekspresi protes warganegara terhadp politisi dan partai politik yang dianggap tidak kunjung memberikan manfaat kepada mereka.[4] Ekspresi golput dalam pemilu 2004 dan pilkada-pilkada yang digelar di Indonesia masuk dalam kategori ini.
Ketiga, fenomena golput adalah bentuk perlawanan terhadap bangunan sistem politik yang mengekang hak-hak politik warga negara. Fenomena ini terutama terjadi di negara-negara dengan sistem politik otoriter. Pada tafsir ini, golput adalah gerakan yang dipromosikan untuk menghancurkan atau melawan otoritarianisme penguasa atau sistem politik. di Indonesia, gerakan golput yang dideklrasikan pada tahun 1970-an masuk dalam kategori ini.
Keempat, golput sebagai bentuk kepercayaan terhadap sistem politik yang sedang bekerja. [5] Fenomena ini muncl terutama di negara yang demokrasinya sudah mapan dan kesejahteraan masyarakatnya telah terjamin Masuk dalam kategori ini adalah fenomena golput di Amerika Serikat. Pada negara ini, golput akan semakin tinggi apabila politikus, partai dan pemerintah berada dalam jalur yang sesuai dengan keinginan rakyat. Sebaliknya, golput akan turun, dengan kata lain partisipasi pemilih meningkat, ketika para politikus, partai dan pemerintah berada di jalur, yang menurut mereka salah. Apabila negara dalam bahaya ke jalur yang salah oleh elitnya, pemilih akan berduyun-duyun menggunakan hak pilihnya dengan menghukum partai yang mengakibatkan negara keluar dari jalur yang semestinya.
Kelima, golput adalah fenomena mal-administrasi. Dalam tafsir ini, golput lahir karena kekacauan administrasi pemilu. Pemilih sebenarnya berencana menggunakan hak pilihnya tetapi karena alasan administratif mereka tidak menggunakannya. Survei LSI (Agustus 2007) menunjukkan bahwa banyak pemilih yang tidak tahu namanya terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tidak mendapatkan kartu pemilih, tidak mendapatkan kartu undangan, dan alamat yang tercantum dalam DPT tidak sesuai dengan alamat pemilih sebenarnya, adalah sebagai penyebab terjadinya golput.[6] Dalam konteks itu, penyelenggara pemilu adalah pihak yang paling bertanggungjawab terjadinya golput.
Keenam, golput adalah fenomena teknis individual. Beberapa hal yang masuk dalam aktivitas teknis individual ini misalnya sedang berlibur, berkunjung ke famili jauh, dalam perjalanan, harus bekerja, ketiduran, dan sebagainya. Individu pelaku golput lebih mementingkan keperluan-keperluan pribadi daripada pergi untuk menggunakan hak pilihnya.
Ketujuh atau terakhir, golput adalah ekspresi kejenuhan masyarakat untuk mengikuti pemilu. Pemilih jenuh karena begitu banyaknya kejadian pemilu yang harus mereka ikuti. Seorang pemilih, dalam suatu massa tertentu akan mengikuti beberapa pemilu dalam rentang waktu yang tidak berjeda lama. Ada pemilu RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, Bupati/Wali Kota, Gubernur, DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR, DPD, dan Pilpres. Kejenuhan itu kemudian diekspresikan dengan menjadi golput.
Golput Tidak Relevan
Menjadi golput adalah hak setiap warganegara, sama halnya menggunakan hak pilih adalah juga hak setiap warganegara. Agar dapat menggunakan hak secara tepat, yaitu menjadi golput atau menggunakan hak pilih, harus ditimbang secara cermat dalam situasi apa hak itu digunakan secara tepat.
Bagi penulis, menjadi seorang golput hanya relevan untuk dua situasi, yaitu (1) ketika pemilu berlangsung dalam pemerintahan yang otoriter, dan (2) pada saat institusi-institusi demokrasi, seperti partai, parlemen, eksekutif, pengadilan, pers, dan sebagainya, telah mapan. Diluar situasi itu menggunakan hak pilih adalah pilihan yang tepat.
Dalam pemerintahan yang otoriter, suara pemilih adalah tidak memiliki makna sama sekali. Penggunaan hak pilih tidak akan mampu mempengaruhi hasil pemilu karena hasil pemilu telah diatur sedemikian rupa oleh penguasa. Pengalaman ketika Orde Baru berkuasa dan pemerintahan otoriter di negara-negara Amerika Latin pada tahun 60-an dan 70-an membuktikan hal itu. Oleh karena itu, pada pemerintahan yang otoriter justru dianjurkan untuk mengkampanyekan golput sebagai bagian dari perlawanan untuk mempromosikan demokrasi. Pada konteks itu, golput yang dicetuskan di Indonesia pada tahun 1970-an adalah pilihan tepat untuk melawan penguasa otoriter.
Sikap politik golput juga relevan ketika institusi-institusi demokrasi telah mapan. Hal ini karena sistem politik telah berjalan sedemikian rupa sehingga siapapun yang memerintah, meskipun partai penguasa silih berganti, tidak akan mengubah responsivitas pemerintah untuk tetap mendengarkan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyatnya. Pemerintahan ‘secara alami’ akan bekerja mengutamakan kepentingan-kepentingan rakyat.
Bagaimanakah dengan situasi Indonesia saat ini, terutama menjelang pemilu 2009? Secara singkat dapat dikatakan situasi kontemporer Indonesia sedang tidak berada pada 2 (dua) situasi tersebut diatas. Dengan demikian, dalam menghadapi pemilu 2009, menjadi golput tidak relevan. Indonesia saat ini berada pada situasi yang berlawanan dengan situasi yang telah disebutkan diatas. Indonesia berada dalam situasi (1) sistem politik yang terbukan atau demokratis, tetapi (2) institusi politik masih dalam keadaan yang labil. Berarti, pemilih perlu menggunakan hak pilihnya secara positif, tidak golput. Menjadi golput, untuk saat ini, adalah tidak relevan. Pemilih perlu menggunakan hak pilihnya.
Dalam sistem politik yang demokratis, menggunaan hak pilih adalah lebih efektif untuk melakukan perubahan dibandingkan mengambil posisi golput.[7] Dengan syarat menjatuhkan pilihan secara tepat, pemilu sebenarnya adalah momentum harapan. Harapan untuk perubahan ataupun harapan kontinuitas penguasa. Bagi yang tidak puas dengan kinerja pemerintah, pemilu sebagai momentum harapan dapat diwujudkan dengan memilih partai oposisi. Sebaliknya, apabila pemilih memandang penguasa saat ini berhasil memenuhi harapan, maka harapan itu dapat dikukuhkan kembali dengan memilih partai-partai yang sedang berkuasa.
Kekecewaan terhadap buruknya kinerja partai tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa tidak ada partai yang layak dipilih. Dengan tidak mengesampingkan berbagai kritik atas disfungsi partai, partai sebenarnya telah berusaha memperbaiki dirinya. Pasar politik yang kompetitif telah menjadi struktur pemaksa dan secara alamiah akan senantiasa menjadi kekuatan yang mengubah partai untuk menjadi lebih baik. Pada kompetisi yang kompetitif partai-partai sadar bahwa mereka akan ditinggalkan pemilihnya apabila tidak menampilkan wajah yang positif dihadapan rakyat.
Fenomena pemilih protes (protest voter) di Jerman pada tahun 80-an dapat dijadikan pelajaran. Roth (2008) dengan mengutip Pappi menyatakan bahwa pada masa itu pemilih di Jerman yang tidak puas dengan kinerja partai papan atas lebih memilih partai kecil beraliran radikal yang sebenarnya tidak memiliki kesempatan untuk meraih kekuasaan.[8] Tindakan politik ini akhirnya berhasil mencapai tujuannya, yaitu partai politik papan atas mengubah politik yang dijalankannya. Partai papan atas itu mengubah politiknya guna menghindari peningkatan suara dari partai beraliran radikal.
Selain itu, golput juga tidak relevan terkait dengan pengaruh politik yang ditimbulkan. Pengaruh penggunaan hak pilih adalah lebih besar dan bermakna daripada golput. Angka 10 persen golput atau berapapun jumlahnya tidak akan memberi makna apa-apa bagi sistem politik. Dalam sistem politik yang demokratis, keabsahan dan legitimasi pemerintahan yang terbentuk tidak akan berkurang dengan tingginya angka golput. Kondisi itu berbeda dengan 10 persen penggunaan hak pilih karena akan membentuk blok politik yang mempengaruhi proses politik.
Dengan kata lain, daripada menggunakan hak politik secara negatif, yaitu golput, penggunaan hak pilih secara positif, yaitu menggunakan hak pilih dalam pemilu, ternyata lebih fungsional dalam melakukan perubahan. Penggunaan hak pilih menjadikan perubahan yang diinginkan menjadi lebih nyata dibandingkan sikap politik golput.
Pemilih Cerdas
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana agar dalam penggunaan hak pilih itu memiliki pengaruh yang signifikan dalam transformasi sistem politik yang lebih berkualitas?.
Menggunakan hak pilih pada dasarnya memberikan mandat kepada partai atau kandidat untuk mengurus kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam menggunakan hak pilih perlu dilakukan secara cermat. Kekeliruan dalam memberikan mandat akan berdampak pada pengabaian kepentingan rakyat. Akibatnya, bukannya perbaikan kehidupan rakyat yang terjadi tetapi stagnasi bahkan kemunduran kualitas kehidupan rakyat.
Untuk itu, dalam sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, pemilih sangat dianjurkan untuk menandai nama kandidat. Pemilih perlu menjadi pemilih yang cerdas. Adapun ciri kandidat yang sebaiknya dipilih adalah: pertama, memiliki rekam jejak dalam mengadvokasi kepentingan rakyat; Kedua, tidak pernah terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan; Terakhir, memiliki kapabilitas untuk menjalankan fungsi-fungsi legislatif atau eksekutif. [9]
Dengan menjadi pemilih yang cerdas diharapkan akan lahir wakil-wakil rakyat yang aspiratif terhadap kepentingan rakyat dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindari. Pemilih yang cerdas menjadikan pemilu sebagai momentum harapan dapat direalisasikan secara lebih pasti.***
BACAAN
Al-Imam, Abu Nash Muhammad, Membongkar Dosa-Dosa Pemilu (terj), Prisma Media, Yogyakarta, 2005.
Kajian Bulanan, Edisi 05-September 2007, PT Lingkaran Survei Indonesia, Jakarta, 2007
Lipset,Seymour Martin, Political Man: Basis Sosial Tentang Politik (terj), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
Pamungkas, Sigit, Abdul Gafar Karim, Eddy O.S. Hiariej, Pemilu 2009 di Indonesia, Modul KKN – PPM Pendidikan Pemilih dan Pemantauan Pemilu, LPPM UGM, Yogyakarta, 2009.
Pamungkas, Sigit, Menimbang Golput, Analisis, Koran Kedaulatan Rakyat, Rabu, 11 Februari 2009.
Roth, Dieter, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-Teori, Instrument dan Metode (terj), Friedrich Naumann Stiftung dan Lembaga Survei Indonesia, Jakarta, 2008’
Wahid, Abdurrahman, Halim HD, dkk, Mengapa Kami Memilih Golput, Sagon, Solo, 2009.
Wattenberg, Martin P., Where Have All The Voters Gone, Harvard UP, England, 2002’
[1] Pernah dipresentasikan dalam seminar kerjasama Departemen Komunikasi dan Informasi RI dengan LPPM UGM, Yogyakarta, 14 Februari 2009. Judul asli makalah adalah “Tujuh Tafsir Golput, Relevansi Menggunakan Hak Pilih, dan Menjadi Pemilih Cerdas”
[2] Sejauh pelacakan penulis, rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilu (voter turn out) paling rendah adalah Switzerland, yaitu 34,9%. Lihat Martin P. Wattenberg, Where Have All The Voters Gone, harvard UP, England, 2002, hal. 15.
[3] Lihat Abu Nash Muhammad Al-Imam, Membongkar Dosa-Dosa Pemilu (terj), Prisma Media, Yogyakarta, 2005. Dalam buku disebutkan 34 (tiga puluh empat) dosa yang terkandung dalam pemilu.
[4] Tentang fenomena ini lihat Abdurrahman Wahid, Halim HD, dkk, Mengapa Kami Memilih Golput, Sagon, Solo, 2009.
[5] Lihat Seymour Martin Lipset, Political Man: Basis Sosial Tentang Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 110.
[6] Lihat Kajian Bulanan, Edisi 05-September 2007, PT Lingkaran Survei Indonesia, Jakarta, 2007.
[7] Pada bagian ini diambial dari tulisan penulis di kolom analisis Koran Kedaulatan Rakyat, Lihat, Sigit Pamungkas, Menimbang Golput, Analisis, Koran Kedaulatan Rakyat, Rabu, 11 Februari 2009.
[8] Lihat Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-Teori, Instrument dan Metode, Friedrich Naumann Stiftung dan Lembaga Survei Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 51.
[9] Lihat Sigit Pamungkas, Abdul Gafar Karim, Eddy O.S. Hiariej, Pemilu 2009 di Indonesia, Modul KKN – PPM Pendidikan Pemilih dan Pemantauan Pemilu, LPPM UGM, Yogyakarta, 2009, hal 7.
Leave a Reply