Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh: Sigit Pamungkas

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

dimuat di Media Indonesia 18 Mei 2009

Babak terakhir dari sebuah generasi politik untuk saling bersaing memperebutkan jabatan tertinggi di negeri ini telah dimulai. Mereka adalah pasangan capres-cawapres JK-Wiranto, SBY-Boediono, dan Mega-Prabowo. Kecuali Prabowo yang lahir pada tahun 1950-an, semua kandidat tersebut adalah generasi politik yang lahir pada tahun 1940-an.

Generasi tahun 40-an tersebut tidak mungkin lagi bertarung dalam pemilu periode berikutnya. Usia yang terlalu uzur, kekuatan politik yang sudah tidak lagi dalam kontrol, atau telah menjabat presiden untuk kedua kali menjadi penyebabnya. Peluang untuk maju pada periode berikutnya tetap ada tetapi sangat kecil. Rasionalitas yang memungkinkan mereka masih dapat bertahan di periode berikutnya adalah hasrat politik yang luar biasa besar dan posisi tawar generasi politik berikutnya sangat lemah.

Diantara pasangan capres-cawapres tersebut di atas, Prabowo adalah satu-satunya kandidat yang masih memiliki kesempatan luas untuk berlaga di pemilu 2014. Jika dalam pemilu kali ini duet Mega-Pro menang, Prabowo memiliki kecenderungan politik paling kuat untuk ‘di atas angin’ dalam pemilu periode berikutnya. Kalupun dalam pemilu kali ini kalah, Prabowo adalah satu-satunya kandidat yang tidak merugi karena telah mengangsur investasi politik untuk memenangkan pemilu berikutnya.

Bagimana peta pertarungan politik generasi 40-an ini untuk menuju istana. Masing-masing memiliki kelebihan apa? Sebaliknya, hal apa yang menjadi titik lemah dari setiap pasangan yang ada?

Saling Potong

Secara kompetitif, kombinasi pasangan kandidat yang saat ini berlaga menunjukkan adanya saling potong garis suplai suara yang mungkin dinikmati oleh tiap pasangan capres-cawapres. Pertama, semua pasangan kandidat saling memotong suplai suara kelompok nasionalis. Hal ini karena semua pasangan kandidat lahir dari rahim politik nasionalis. Bahkan, dapat dikatakan pilpres kali ini merupakan pertarungan diantara kekuatan politik kaum nasionalis. Tidak satupun kandidat lahir dari rahim politik islam.

Kedua, semua pasangan kandidat saling memotong garis suplai suara dari keluarga besar militer. Salah satu dari setiap pasangan kandidat berlatar belakang militer. Secara formal militer tidak berpolitik. Meskipun demikian, harus diakui bahwa magnet dari kecenderungan sikap politik keluarga besar militer relatif masih berpengaruh menggeser pendulum kemenangan.

Ketiga, semua kandidat saling memotong garis suplai suara pemilih Jawa. Seperti diketahui bersama bahwa mayoritas pemilih adalah pemilih Jawa. Dengan mengusai pemilih jawa maka keuntungan besar akan diperoleh.

Dengan demikian, tidak sepasang kandidatpun yang akan menikmati suplai suara dari segmen pemilih tertentu secara ekslusif. Pasar politik tersebut menjadi wilayah yang kompetitif karena berasal dari basis politik yang relatif sama. Jika ingin unggul dalam setiap segmen pemilih, masing-masing kandidat harus mengeksploitasi segmen tersebut secara lebih baik. Arus suplai suara akan berbanding lurus dengan persepsi tentang derajat kekentalan nilai yang melekat pada setiap pasangan capres-cawapres.

Pasangan Mega-Prabowo akan mendapatkan suplai suara yang lebih besar dari mereka yang ke-nasionalisme-annya ‘lebih kuat’. Sementara itu, pasangan SBY-Boediono akan mendapatkan suplai suara yang lebih kecil dari keluarga besar militer dibandingkan pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto. Hal ini karena karakter kemiliteran SBY-Boediono lebih lemah dibandingkan dua pasangan yang menjadi kompetitornya.

Terkait dengan dukungan etnis Jawa, pasangan JK-Wiranto akan mendapatkan suplai suara paling kecil. Pemilih Jawa yang ‘loyalitas kejawaannya’ tinggi akan melihat pasangan itu “tidak njawani”. Meskipun demikian, JK-Wiranto tetap dapat memperoleh suplai suara yang cukup besar dari pemilih Jawa. Syaratnya, pemimpin harus dari Jawa hanya sekedar mitos, atau setidaknya telah luntur. Pada saat bersamaan, adanya unsur Luar Jawa dapat menjadi aliran baru arus suplai suara bagi JK-Wiranto dengan syarat sentimen representasi luar Jawa muncul secara kuat.

Islam Politik

Telah disebutkan di atas bahwa pilpres kali ini adalah pertarungan politik diantara kaum nasionalis. Rahim islam politik gagal memunculkan kandidat. Jika demikian adanya, aliran suplai suara dari islam politik menjadi arus yang sangat penting untuk memenangkan pilpres. Masuknya blok politik islam ke dalam salah satu pasangan kandidat akan menjadi properti mewah.

Pasangan SBY-Boediono merupakan satu-satunya pasangan yang mendapat dukungan dari PKS, PKB, PPP dan PAN sebagai representasi kekuatan politik islam. Ibarat sebuah pasar, SBY-Boediono adalah saudagar yang berdagang tanpa kompetitor. Sementara itu, pasar politik nasionalis dimasuki oleh semua “pedagang” sehingga sangat kompetitif.

Dengan kata lain, pasangan SBY-Boediono memonopoli pasar pemilih islam politik. Memang benar bahwa dukungan partai politik islam tidak serta merta dapat mengalirkan arus suara pemilih islam. Meskipun demikian, probabilitasnya untuk mengalirkan arus suara pemilih islam jelas lebih besar. Partai-partai politik islam dapat menjadi tanggul-tanggul yang kokoh untuk mengawal aliran arus suara pemilih islam. Hal ini yang menjelaskan mengapa SBY bersikukuh berkoalisi dengan  partai islam karena ini adalah aliran arus suara yang tidak dipotong oleh pasangan kandidat lain.

Apakah pemilih nasionalis yang menjadi pendukung SBY-Boediono tidak memindahkan suaranya dengan masuknya blok politik islam ke gerbong SBY-Boediono? Kemungkinan itu ada. Meskipun demikian, ‘garis ideologi’ pemilih PD pada dasarnya lebih lunak atau moderat dibandingkan ideologi pemilih PDIP. Dengan ideologi ‘nasionalis religius’ pemilih PD cenderung tidak mempersoalkan masuknya arus politik lain. Pengalaman pilpres 2004  menunjukkan bahwa dukungan politik islam tidak menggoyahkan soliditas pemilih inti SBY. Aliran arus pemilih islam justru mengalir sangat deras.

Jika JK-Wiranto dan Mega-Prabowo ingin masuk dalam pasar pemilih islam politik, mereka harus bekerja keras. Individu-individu non-politik tetapi merepresentasikan islam politik perlu diambil. Pada titik ini, pasangan Mega-Prabowo tampaknya paling sulit untuk masuk ke dalam islam politik karena mengesankan ‘nasionalis tulen’.

Retrospektif

Diluar faktor-faktor yang bersifat struktural tersebut, aliran arus suara pemilih tampaknya juga akan sangat ditentukan oleh perilaku pemilih retrospektif. Pada perspektif ini, kandidat yang menunjukkan kinerja baik dan janji yang sesuai dengan harapan pemilih memiliki peluang lebih besar untuk dipilih (Morris P. Fiorina, 1981). Sebaliknya, kandidat yang menunjukan kinerja yang buruk dan janji yang tidak relevan dengan kebutuhan cenderung akan ditinggalkan.

SBY, JK, dan Mega pernah memegang kendali pemerintahan. Masing-masing telah menunjukkan kinerjanya. Dengan demikian pemilih dapat mengevaluasi kinerja dari setiap pasangan.

Berdasarkan tren hasil pemilu legislatif, kinerja SBY dinilai lebih baik oleh publik daripada JK dan Mega. Meskipun demikian, dalam kompetisi elektoral persoalannya bukan pada apakah secara faktual kinerja mereka memang lebih baik atau lebih buruk. Yang terpenting adalah bagaimana persepsi tentang kinerja itu dikonstruksi.

Di sini, pencitraan bahwa SBY berprestasi lebih berhasil dibandingkan pasangan lainnya. Padahal, dalam pemerintahan SBY, the real president adalah JK. JK yang lebih mencetak prestasi pemerintahan. Hanya saja, JK gagal mengkapitalisasi prestasinya untuk memperbesar dukungan pemilih, sedangkan SBY mengkapitalisasikan secara all-out. Demikian pula dengan Megawati, dalam masa pemerintahannya sebenarnya juga tidak sepi dari prestasi hanya saja gagal dikapitalisasi.

Selama ‘mitos bahwa kinerja SBY positif’ tidak didekonstruksi maka arus suara pemilih retrospektif akan mengalir kepadanya. Arus suara pemilih hanya dapat dialihkan ketika kegagalannya diungkap. Di sisi ini, kompetitor SBY-Boediono perlu mengkapitalisasi kesuksesannya sekaligus membuat pembeda yang kuat dengan citra SBY. Dengan cara itu, ramalan berbagai lembaga survei bahwa pilpres telah selesai sebelum dimulai dapat dipatahkan. (Sigit Pamungkas, Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM).

Leave a Reply