Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh: Sigit Pamungkas

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

dimuat di Kompas, 26 Oktober 2009

Koalisi besar akhirnya tercipta. Kecuali PDIP, Gerindra dan Hanura, susunan kabinet yang baru saja terbentuk menempatkan semua kekuatan partai di parlemen sebagai partai penguasa. Partai Golkar tanpa malu-malu menggenapi takdir sejarahnya sebagai partai pemburu kekuasaan (office seeking). Sementara itu, nurani demokrasi dari Megawati gagal dibunuh oleh mereka yang menghendaki PDIP bergabung dengan penguasa. Hampir-hampir pemerintahan SBY-Boediono mewujudkan monisme politik di era demokrasi.

Persoalannya, apakah koalisi besar itu akan solid membangun kebersamaan? Apakah koalisi besar serta merta menjamin terciptanya stabilitas pemerintahan?

Dalam waktu lima tahun ke depan, yang terjadi kemungkinan besar justru sebaliknya. Yang tercipta bukannya stabilitas pemerintahan namun instabilitas pemerintahan, atau setidaknya pemerintahan yang riuh. Riuh dengan nada dasar dan intonasi partai-partai koalisi yang tidak sama.

Struktur Kesempatan

Pemerintahan yang riuh akan tercipta terkait dengan adanya faksionalisasi diantara partai-partai penguasa. Partai-partai penguasa akan terlibat dalam interaksi yang kompetitif.

Selain PD, partai-partai penguasa akan berdiri diatas dua pijakan. Saat tertentu mereka akan menunjukkan dirinya sebagai bagian dari partai penguasa, saat yang lain mereka menjadi bagian dari kekuatan penentang pemerintah (strategic government party). Ibarat bermain catur, langkah mereka seperti kuda, melompat-lompat tidak terduga.

Dalam periode sebelumnya, langkah kuda ini dipraktekkan secara sangat baik oleh Golkar, PKS dan PAN. Dalam situasi tertentu mereka menjaga kohesivitas koalisi, pada kesempatan yang lain merecoki koalisi. Golkar sempat bermanuver ketika presiden membentuk UKP3R. Sementara itu PAN dan PKS memakai langkah kuda dalam interpelasi kasus Iran dan impos beras oleh Bulog.

Dalam konteks cabinet sekarang, kerapuhan koalisi terutama sekali disebabkan oleh dua hal. Pertama, digerakkan oleh motif elektoral. Motof ini muncul dengan adanya struktur kesempatan di penghujung lima tahun ke depan.

Dalam lima tahun kedepan, yaitu tahun 2014, pemilu akan kembali digelar. Pada pemilu tersebut, SBY dipastikan tidak akan maju lagi dalam pemilu. Konstitusi membatasi bahwa seseorang hanya dapat menjadi presiden dalam dua kali periode.

Situasi tersebut menjadikan di pasar politik tidak ada aktor dominan. Pasar politik menjadi arena yang dikontestasikan diantara partai-partai. Hal ini mendorong partai-partai untuk mencuri perhatian public sejak awal. Tujuannya adalah mendapatkan nilai plus dari public sebagai pembela rakyat.

Pada situasi yang demikian, isu-isu yang menyedot perhatian public akan dengan sadar dimainkan oleh partai-partai. Secara sistematis, partai-partai akan memunculkan rokoh-tokohnya yang diproyeksikan dapat bersaing di tahun 2014.

Celakanya, tokoh-tokoh yang memiliki peluang besar untuk itu adalah mereka yang duduk di dalam cabinet. Akibatnya, kabinet akan menjadi ajang kontestasi diantara mereka yang akan bertarung di pemilu berikutnya.

Dengan logika itu, partai-partai tidak akan menghitung factor SBY dalam pemerintahan sekarang. SBY hanya akan dihargai sebatas statusnya sebagai presiden. Sementara itu, SBY sebagai pemegang kendali pemerintahan tidak akan banyak diperhatikan.

Rapuh

Pemerintahan yang riuh juga disebabkan oleh rapuhnya basis koalisi. Terdapat beberapa catatan atas proses terbentuknya koalisi partai penguasa. Pertama, koalisi dimulai dengan diskusi tentang kursi. Ketika koalisi dibangun, sama sekali tidak terekam pembicaraan tentang platform koalisi atau arah koalisi.

Sebaliknya, yang nyaring terdengar adalah pembagian kursi. Kenyataan itu sangat kentara menjelang deklarasi pasangan SBY-Boediono. Detik-detik akhir kepastian PKS tetap merapat ke SBY menjadi salah satu bukti tentang fenomena itu.

Kedua, berkaitan dengan yang pertama, koalisi dibangun diatas peluang elektabilitas. Amien Rais ketika mendorong PAN berkoalisi dengan SBY salah satunya karena melihat peluang menang SBY tidak terbendung. Diskusi tentang platform koalisi nihil. Bahkan, sikap politik yang dituangkan dalam buku “Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia” harus disimpannya baik-baik. Padahal buku itu bersikap sangat kritis terhadap kepemimpinan SBY.

Terakhir, dalam proses koalisi terdapat partai yang sekedar numpang menang. Golkar menjadi partai yang tanpa bekerja tetapi dibayar mahal oleh koalisi. Meskipun tidak proporsional dengan perolehan suaranya, Golkar mendapatkan 3 jabatan menteri. Jumlah yang tidak sedikit untuk partai yang tidak mengeluarkan keringat setetespun bagi terpilihnya pasangan SBY-Boediono.

Mengingat kembali pada proses terbentuknya koalisi, resistensi kehadiran Golkar dalam koalisi adalah sangat tinggi. Resistensi ini terutama sekali muncul dari PKS. Dalam berbagai kesempatan terekam jelas PKS berencana keluar dari koalisi jika Golkar masuk dalam koalisi yang dipimpin PD.

Kerja Keras

Dalam situasi tersebut, bangunan koalisi besar akan menghadapi persoalan serius dalam menjaga soliditas. Yang terbentuk adalah koalisi minus loyalitas. Masing-masing partai akan berfikir kepentingannya sendiri-sendiri. PD sebagai pemimpin koalisi tidak akan dapat mengkontrol perilaku partai mitra koalisinya. Kepemimpinan SBY-Boediono yang sering dicitrakan sebagai rem dengan rem akan semakin memperparah kontestasi partai intra-koalisi.

Kontestasi partai-intra koalisi ini akan semakin jelas terutama sekali ketika pemerintahan sudah berlangsung setengah jalan. Pada saat itu, pakta integritas, komitmen dan berbagai hal yang dimaksudkan untuk mengikat soliditas koalisi menjadi tidak berfungsi. Satu sisi itu disebabkan oleh semakin mendekatnya momentum pemilu, disisi yang lain proses evaluasi kinerja kabinet sudah berlalu.

Disini, SBY harus bekerja ekstra keras agar kemungkinan-kemungkinan ini tidak terjadi. Setidaknya, SBY harus mengantisipasi efek yang muncul dari langkah kuda partai mitra koalisinya.

Sigit Pamungkas, dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

Leave a Reply