Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh: Sigit Pamungkas

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

Dimuat di Kompas, 13 Mei 2009

Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi. Dalam dua kali pemilu sebelumnya, yaitu pemilu 1999 dan 2004, pemilu berlangsung dengan sangat baik. Keberhasilan dua kali penyelenggaraan pemilu tersebut menjadikan Indonesia telah berhasil melalui fase kritisnya. Arus balik atau stagnasi transisi demokratisasi tidak terjadi.

Pengalaman sejarah gelombang demokratisasi di dunia menunjukkan kriteria kesuksesan dalam meniti jalan transisi demokrasi adalah tes dua kali penyerahan kekuasaan (Huntington, 1991). Menurut tes ini, fase transisi untuk konsolidasi demokrasi adalah terjadi rotasi kekuasaan secara damai dari penguasa pemenang pemilu pertama kepada pemanang pemilu kedua. Apabila tes itu gagal dilalui maka otoritarianisme akan kembali menerpa.

Pada konteks itu, peralihan kekuasaan dari PDIP selaku pemenang pemilu 1999 kepada PD selaku pemenang pemilu 2004 telah berlangsung secara damai. Memang ada situasi sulit dalam rentang waktu tersebut, yaitu konflik etnisitas dan pelengseran kepemimpinan nasional, tetapi itu semua dapat dilalui dengan selamat. Berbagai kesulitan yang ada tidak sampai menyebabkan kita tergelincir kembali ke dalam rezim otoritarian.

Peralihan kekuasaan yang seperti itu adalah bukan persoalan yang mudah. Keberhasilannya sangat tergantung komitmen yang memadai dari para elit dan publik terhadap demokrasi. Amerika Serikat sebelum tahun 1840, dan Jepang pasca PD II, serta Turki antara tahun 1950 dan 1990 adalah beberapa negara yang tidak memenuhi persyaratan ini. Negara-negara itu tidak lulus tes untuk melewati masa transisi secara baik sehingga otoritarianisme kembali berkuasa.

Konsolidasi Demokrasi

Jika dua kali masa pemilu di era reformasi disebut sebagai pemilu untuk lolos tes fase transisi demokrasi, pemilu 2009 sesungguhnya adalah mekanisme untuk mengetes fase konsolidasi demokrasi. Apakah konsolidasi demokrasi dapat dilembagakan dalam masa berikutnya atau sebaliknya.

Konsolidasi demokrasi secara ringkas dapat dimaknai sebagai pembiasaan norma-norma, prosedur-prosedur, dan harapan-harapan tentang demokrasi ke dalam perilaku aktor-aktor politik (Diamond, 2003). Para aktor politik secara rutin dan mekanis menyesuaikan diri dengan aturan demokrasi sebagai ‘the only game in town’, bahkan ketika mereka berkonflik dan bersaing.

Pada titik itu, konsolidasi demokrasi bukan sekedar komitmen pada demokrasi secara abstrak, bahwa demokrasi adalah bentuk terbaik pemerintahan. Lebih dari itu, aktor-aktor politik juga harus memastikan bahwa demokrasi bukan sekedar diwacanakan, tetapi layak dipatuhi dan dipertahankan. Ringkasnya, konsolidasi demokrasi adalah kesesuaian antara norma dan perilaku aktor-aktor politik mengenai prinsip-prinsip demokrasi.

Dengan demikian, pemilu 2009 sebagai fase konsolidasi demokrasi harus memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi harus dijadikan satu-satunya aturan main. Nilai-nilai demokrasi itu  tidak sekedar diwacanakan tetapi juga harus dipatuhi dan dipertahankan.

Ancaman

Apabila terjadi pengingkaran atau kesenjangan antara  nilai yang dipercaya dengan yang dipraktekkan maka gelombang demokratisasi tidak terkonsolidasi dengan baik. Sebaliknya, justru secara perlahan demokrasi menjadi mundur ke belakang. Pemilu menjadi pintu masuk dan sarana konsolidasi kekuatan anti demokrasi. Di dalam pemilu, piranti-piranti dan jargon demokrasi digemakan oleh aktor-aktor politik, tanpa terkecuali, tetapi isinya kosong. Bila demikian adanya, terjadilah kemudian apa yang disebut dengan dekonsolidasi demokrasi.

Menurut Diamond, dekonsolidasi demokrasi dicirikan dua hal, yaitu disloyalitas dan semiloyalitas demokrasi.  Disloyalitas merupakan penolakan eksplisit  terhadap legitimasi sistem demokrasi yang diantaranya diwujudkan dengan penggunaan kekuatan, kecurangan, atau cara-cara ilegal lainnya untuk mendapatkan kekuasaan. Bahkan, mereka ini tidak segan-segan berusaha menarik militer dalam kontestasi kekuasaan.

Pada pemilu kali ini, pelaksanaan pemilu yang semrawut menjadi indikasi paling baik untuk menjelaskan disloyalitas demokrasi. Kekacauan yang terjadi tidak dapat sekedar dibaca sebagai mal-administrasi. Lebih dari itu, menghambat anggaran pemilu, DPT yang sangat buruk, mengabaikan berbagai pelanggaran pemilu, dan sebagainya sesungguhnya itu menunjukkan betapa komitmen untuk menyangga bekerjanya demokrasi telah berhenti.

Menjadi semakin berbahaya kekacauan yang terkesan bersifat administratif itu sengaja dibuat acak untuk menyamarkan kecurangan yang dilakukan secara sistematis. Celakanya lagi, tidak ada satu institusipun yang merasa bertanggungjawab atas carut-marut pemilu. Nada-nada ‘mengetuk pintu barak’ untuk menjadi kekuatan pemenangan pemilu pun samar-samar terlihat.

Sementara itu, semiloyalitas adalah perilaku tidak loyal atau terputus-putus atau melemah terhadap komitmen demokrasi. Semiloyalitas ini ditunjukan dengan kehendak untuk membentuk pemerintahan dan aliansi dengan kelompok-kelompok yang tak loyal, atau kesiapan untuk mendorong, mentoleransi atau menutupi aksi-aksi anti demokrasi.

Pada aspek semiloyalitas, pada pemilu kali ini sangat jelas terlihat pada hiruk- pikuk dan kerumitan dalam membangun koalisi pilpres. Mereka yang mengkritik pemerintah yang berkuasa dengan mudahnya membangun koalisi dengan yang dikritik. Kita juga melihat betapa antara ‘si tertindas’ dan ‘si penindas’, si penyiksa  dan korban begitu akrabnya menjajaki koalisi. Atas nama koalisi, stabilitas pemerintahan, dan kalkulasi elektabilitas ada sikap melupakan, menutupi dan mentoleransi atas tindakan-tindakan anti demokrasi. Dengan kata lain, komitmen untuk menegakkan benang demokrasi kelihatan mulai melemah dan terputus-putus.

Jika demikian adanya, pemilu sebagai ajang konsolidasi demokrasi saat ini dalam bahaya. Dekonsolidasi demokrasi sedang terjadi. Arah gelombang demokratisasi sedang berbelok. Oleh karena itu aktor-aktor politik yang memiliki komitmen demokrasi perlu menata diri kembali. Perlu purifikasi komitmen tentang demokrasi,  kecuali kita tidak bersedia lulus tes konsolidasi demokrasi. *** (Sigit Pamungkas, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM).

Pernah di muat di Kompas nasional, 2009

3 Responses to “Dekonsolidasi Demokrasi”

  1. I can speak much on this question.

    Каталог статей

  2. hati hati diperjalanan pada saat arus balik

    indonesia news

  3. I agree with much of what peoples comments are that I am reading here.

    downlaod full movies

Leave a Reply