Sigit Pamungkas

Ada Jalan Tengah

About

Proin accumsan urna in mi. Aenean elementum egestas tortor. Donec neque magna, auctor a, dapibus sit amet, facilisis sit amet, ligula..

Oleh: Sigit Pamungkas, Dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

dimuat di Kompas,13 November 2009

Institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman merupakan pilar penting yang akan menentukan wajah keadilan. Dapat dikatakan, seandainya seluruh institusi negara rusak, selama ketiga institusi tersebut masih berada dalam jalur yang tepat maka keadilan masih akan didapatkan. Pijar keadilan masih bisa bersinar terang.

Sebaliknya, seandainya seluruh institusi negara baik, tetapi institusi kepolisian, kejaksaan dan kehakiman rusak maka jangan berharap keadilan akan didapatkan. Ketiga institusi tersebut akan berusaha dengan berbagai cara mempersoalkan berbagai hal sebagai sesuatu yang melanggar hukum.

Yang benar dapat berubah menjadi salah dan yang salah dapat dikonstruksi sebagai sesuatu yang benar. Sebab, ketiga institusi tersebut memiliki otoritas untuk mendefiniskan benar dan salah. Pada titik ini,  hanya gerakan rakyat yang dapat menegakkan keadilan.

Celakanya, institusi penegak hukum kita ternyata berdiri di tempat yang tidak semestinya. Berbagai kasus besar yang terekspose ke publik, seperti kasus Artalita dan persteruan cicak dan buaya, telah memberitahukan kepada kita secara baik bahwa lembaga-lembaga itu berdiri kukuh di atas pihak yang seharusnya menjadi seterunya.

Bahkan, ketika bukti-bukti telah dipaparkan ke publik, absurditas pembelaan terhadap pelaku kejahatan terus-menerus diekpresikan secara vulgar. Penegakan hukum telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir keadilan itu terbunuh atas nama penegakan hukum.

Tidak sekedar mafia

Mafia hukum adalah salah satu faktor yang sering disebut sebagai penyebab institusi hukum tidak setia membela keadilan. Pemerintahan SBY telah menyadari persoalan ini. Dalam program 100 hari pemerintahannya, pemberantasan mafia hukum telah masuk menjadi prioritasnya.

Mafia hukum ini bekerja sebagai jejaring yang mengatur dan memperdagangkan perkara serta sampai pada menentukan bentuk putusan. Nasib keadilan ditentukan bagaimana mafia hukum  berfikir tentang hukum. Sebagai sebuah jaringan, mafia hukum bergerak secara diam-diam. Kerahasiaan sangat dijaga tidak hanya dari intipan publik tetapi juga dari kolega mereka dalam korps penegak hukum.

Sayangnya, pencermatan terhadap keluasan dan kedalaman kerusakan hukum akan membawa kita pada satu kesimpulan yang berbeda. Perilaku menyimpang dari aparat hukum tidak hanya berlangsung di tingkat pusat tetapi juga di tingkat bawah. Ia juga berlangsung tidak sekedar diwilayah tertentu tetapi mewabah di semua tempat.

Artinya, penyimpangan itu sesungguhnya sudah menjadi perilaku institusi, bukan sekedar jejaring mafia. Ia adalah normalitas institusi, bukan anomali. Ia tidak bekerja secara sembunyi-sembunyi tetapi telah menjadi ritme dari institusi hukum itu sendiri. Sehingga  menjadi mimpi belaka apabila berharap adanya control internal atas perilaku yang menyimpang dari institusi-institusi penegak hukum.

Selain itu, kukuhnya ketidaksetiaan institusi hukum dalam membela keadilan didukung oleh institusi lain diluar institusi hukum yang merasa lebih nyaman dengan kerusakan institusi hukum. Individu-individu korup di jajaran eksekutif, birokrasi dan parlemen menjadi bagian penting dalam melanggengkan kebobrokan institusi hukum. Sikap diam parlemen terhadap isu pemberantasan korupsi dan tepuk tangan meriah atas penjelasan Kapolri tentang konflik ‘cicak melawan buaya’ mengindikasikan hal itu.

Para koruptor di parlemen dan eksekutif justru akan terancam dengan institusi hukum yang kuat. Oleh karena itu, jalan terbaik agar mereka tetap selamat adalah membiarkan normalitas penyimpangan institusi-institusi hukum. Dengan cara itu terjadi simbiosis mutualisme. Kerusakan institusi hukum justru memberikan nilai strategis bagi individu-individu korup di jajaran birokrasi, eksekutif dan parlemen.

Oleh karena itu, menjadi tidak aneh apabila mereka yang duduk di eksekutif dan parlemen akan senantiasa menjadi pembela pertama atas absurditas institusi hukum dalam memberantas korupsi.

Memperkuat Anomali

Dalam kerangka tersebut, KPK oleh institusi hukum lainnya dipandang sebagai anomali. Anomali atas kesetiaan institusi-institusi hukum konvensional yang begitu kukuh berpihak pada ketidakadilan. Oleh institusi hukum konvensional, kehadiran KPK tidak sekedar dianggap sebagai memangkas atau mengurangi kewenangan. Ia juga tidak sekedar rivalitas kewenangan.

Lebih dari itu, kehadiran KPK dianggap sebagai institusi yang akan membunuh normalitas perilaku mereka. Institusi-institusi itu menempatkan KPK sebagai musuh, bukan mitra. Sehingga tidak aneh apabila antusiasme dari institusi-institusi hukum dan individu-individu korup sangat tinggi dalam melemahkan KPK.

Di institusi-institusi negara, sekarang KPK hampir-hampir tidak ada pembelanya. Kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. Rakyat yang sekarang menjadi tumpuan. Dalam konteks itu saya membayangkan terjadi repetisi gerakan1998. Gelagat itu sudah ada, kapan akan segera membesar? Atau menunggu KPK mati? (Sigit Pamungkas, Dosen pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM).

Leave a Reply