Oleh: Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
Pernah dimuat di Kompas, 13 Agustus 2009
Meniti jalan demokrasi bukan sebuah perjalanan yang mudah. Keliru menapakkan langkah mengakibatkan perjalanan menuju demokrasi tidak segera sampai, atau bahkan tidak akan pernah sampai sama sekali.
Faktor-faktor objektif seperti konflik sipil, radikalisasi daerah, kemiskinan dan ketimpangan yang akut terkadang menjadi sebab sulitnya menggapai demokrasi. Faktor-faktor subjektif seperti libido kekuasaan yang membuncah dan agresifitas modal juga tidak jarang mengambil peran besar bagi gagalnya meniti jalan demokrasi.
Berbagai fenomena kontemporer memunculkan pertanyaan akan nasib dari jalan demokrasi yang sedang kita tempuh. Apakah kita masih setia di jalan demokrasi, atau sedang melangkah ke rute yang lain. Pengamatan sekilas sepertinya kita tidak cukup setia untuk tetap menapaki jalan demokrasi secara baik. Secara perlahan-lahan terjadi pergeseran dari jalur demokrasi ke jalur yang lain.
Benih Pembunuh
Fenomena pertama yang menghalangi jalan lempang demokrasi adalah adanya ranjau bagi kebebasan berpendapat. Kasus Prita menjadi contoh yang sangat baik betapa ekspresi kebebasan berpendapat dalam bayang-bayang penjara. Secara tidak sadar, kebebasan berpendapat telah menjadi sebuah peristiwa yang berbahaya. Ketakutan menyertai atas setiap pendapat yang dikeluarkan. Sebab, ‘penegak keadilan’ sudah setia menunggu untuk mengadili dan tentu saja memberi hukuman.
Ketika Orba berkuasa, negara menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat. Pada kasus Prita, kini swasta atau pemilik modal yang menjadi ancaman. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat negara juga akan menjadi predator bagi kebebasan berpendapat. Jika demikian adanya, kebebasan berpendapat akan dijepit oleh negara dan swasta. Tidak ada pembela bagi rakyat kecuali dirinya sendiri. Padahal, kebebasan berpendapat menjadi salah satu pondasi paling penting bagi tegaknya hak-hak politik rakyat lainnya.
Fenomena subordinasi keadilan dan kebenaran atas nama negara hukum menjadi fenomena lain yang menghalangi jalan demokrasi. Peristiwa paling kontemporer adalah terkait dengan putusan MA tentang metode alokasi kursi legislatif. Secara substantif, dapat dipastikan tidak ada argumentasi yang dapat melegitimasi model alokasi kursi ala MA.
Dalam studi tentang pemilu, model alokasi kursi terus mengalami perkembangan untuk mendapatkan formula terbaik dalam mengkonversi suara menjadi kursi. Meskipun demikian tidak satupun dari formula itu yang memiliki logika yang serupa dengan model penghitungan ala MA.
Anehnya, di tengah pemahaman bahwa putusan MA itu secara substantif keliru, atas nama negara hukum ada sebagian orang yang mengharapkan putusan itu dieksekusi. Ini sebuah bahaya yang mengancam demokrasi. Cara pandang seperti ini, sewaktu-waktu dapat ‘dipinjam’ untuk melegitimasi kesewenang-wenangan penguasa atau pemilik modal secara rapi. Idealnya, hukum semestinya adalah membingkai keadilan dan kebenaran. Ternyata yang terjadi sebaliknya, ketidakadilan dan kepalsuan dibingkai oleh hukum.
Fenomena terakhir yang juga menghalangi jalan demokrasi adalah adanya kecenderungan untuk mengkonsentrasikan kekuasaan. Pasca pilpres, pemenang pemilu terkesan ingin menyerap kekuatan lawan menjadi bagian dari kekuasaan. Pada saat bersamaan, yang kalah pemilu juga berusaha merapat ke penguasa. Satu kekuatan politik bergerak secara sentripetal, yang lainnya bergerak secara sentrifugal sehingga seperti gayung bersambut. Konsentrasi kekuasaan akhirnya menjadi suatu yang tidak terhindarkan.
Dinamika politik di Golkar dan PDIP menjadi titik penting terjadinya konsentrasi kekuasaan. Arus utama politik Golkar yang kalah dalam pilpres berusaha merapat ke SBY. PDIP pun, melalui Taufiq Kiemas, juga membuka wacana merapat ke penguasa. Pemenang pemilu juga ingin merengkuh mereka. Jika demikian adanya, check and balances akan hilang. Padahal dalam demokrasi check and balances tidak hanya diperlukan tetapi sebuah kebutuhan. Situasi itu menjadikan peluang bagi penyimpangan kekuasaan akan semakin terbuka lebar.
Belum Terlambat
Preskripsi tersebut sepertinya sebuah titik ‘kecil’ yang dapat diabaikan sebagai bentuk pengganggu dari jalan demokrasi. Meskipun demikian pengalaman sejarah Orba memberi pelajaran betapa beresikonya mengabaikan sesuatu yang kelihatannya ‘kecil’. Ketika rezim Sukarno dijatuhkan, terbit mimpi tentang demokrasi. Pada fase awal, gambaran tentang demokrasi seperti begitu nyata. Bayangan kembalinya otoritariaanisme hampir tidak muncul.
Setelah beberapa saat berjalan, benih-benih otoritarianisme ternyata bersemi tanpa disadari. Upaya-upaya untuk merapikan ‘kekacauan’ dari demokrasi dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan. Orba yang semula muncul sebagai anti tesis otoritarianisme kemudian berubah wajah menjadi kekuatan anti tesis demokrasi.
Masih belum terlambat untuk membersihkan jalan demokrasi dari duri yang melintang. Elit politik perlu berefleksi dan kekuatan pro demokrasi perlu mengkonsolidasikan diri. Jika tidak, sejarah Orba akan direpetisi. Polanya berbeda tetapi dapat berakhir diujung yang sama. (Sigit Pamungkas, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM)
Leave a Reply