Oleh: Sigit Pamungkas
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
Pernah dimuat di Kompas, 19 Januari 2009
Penetapan calon jadi anggota DPR/DPRD dari sistem nomor urut bersyarat telah diubah Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sistem suara terbanyak. Putusan itu problematik karena batas-batas kewenangan MK dengan partai dalam membentuk sistem pemilu menjadi kabur.
Secara tidak langsung putusan itu telah ‘mengubah’ sistem pemilu yang dari berbasis partai menjadi ‘berbasis individu’. Selain itu, putusan MK yang bersandar pada argumen kedaulatan rakyat tersebut juga telah mereduksi makna kedaulatan rakyat sekedar bersifat kuantitatif, yaitu mayoritas suara.
Batas Kewenangan
Di negara manapun, pilihan terhadap sistem pemilu tidak pernah dihubungkan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Apapun pilihan terhadap berbagai variasi sistem pemilu, pilihan itu sesungguhnya adalah pilihan terhadap bagaimana kedaulatan rakyat itu berusaha dikonversi ke dalam sistem politik. Dalam demokrasi elektoral, pemilu yang jujur dan adil sudah cukup sebagai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Tidak ada istilah sistem pemilu yang paling ideal dalam mengkonversi kedaulatan rakyat. Yang ada adalah sistem pemilu yang favorable untuk konteks sosio-politik tertentu. Idealitas dari sebuah sistem pemilu yang akan diberlakukan tidak lebih dari prioritas-prioritas yang diutamakan (Reilly dan Reynolds, 2000). Ada negara yang memprioritaskan proporsionalitas keterwakilan, penguatan sistem kepartaian, perwakilan minoritas, dan ada pula yang menekankan pengaruh kelompok minoritas. Oleh karena itu, variasi sistem pemilu terus berkembang untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang diprioritaskan.
Dengan demikian, apabila partai politik menetapkan sistem nomor urut bersyarat dalam penetapan calon jadi sebenarnya tidak lebih daripada adanya prioritas-prioritas yang diutamakan, misalnya pengkaderan, kompetensi, dan perlindungan terhadap segmen-segmen sosial marginal. Munculnya nuansa oligarkhis dan biaya pencalonan dalam penempatan nomor urut boleh jadi adalah ekses dari prioritas-prioritas yang diutamakan, bukan sesuatu yang diharapkan.
Terkait dengan sistem pemilu, terdapat beberapa unsur dari apa yang disebut sebagai sistem pemilu. Penetapan calon jadi adalah salah satu unsur penting dari konstruksi sebuah sistem pemilu. Jika demikian adanya, putusan MK tersebut diatas secara tidak langsung telah mengubah salah satu unsur dari sebuah sistem pemilu sehingga nuansa sistem pemilu menjadi berubah.
Di sini, batas kewenangan MK dipertanyakan. Sampai batas manakah “campur tangan” MK dalam membentuk sistem pemilu. Apakah MK berhak mengambil alih peran partai dalam menentukan sistem pemilu? Jika cara berfikir linier terus digunakan maka unsur-unsur lain dari sebuah sistem pemilu sewaktu-waktu dapat diubah oleh MK atas nama kedaulatan rakyat. Padahal tafsir MK atas kedaulatan rakyat juga problematik.
Kritik Supremasi Kuantitas
Dalam demokrasi prosedural, nalar kuantitas menjadi salah satu alat ukur penting bagaimana kedaulatan rakyat ditegakkan. Mereka yang memperoleh kuantitas terbesar dipandang mendapatkan mandat rakyat untuk berkuasa.
Gambaran makro supremasi kuantitas dalam demokrasi prosedural dapat dilihat dalam pembentukan pemerintahan. Dalam sistem parlementer, kekuatan politik yang mampu menghimpun suara mayoritas parlemen adalah yang membentuk pemerintahan. Sementara itu dalam pemilihan presiden, kandidat yang mendapatkan suara terbanyak akan berhak menduduki kursi kepresidenan.
Meskipun demikian, nalar supremasi kuantitas tersebut bukan tanpa kritik. Pertama, pemenang mayoritas seringkali bukan mayoritas dalam arti yang sebenarnya kecuali seorang calon mampu mencapai mayoritas absolut (50%+1). Kandidat yang memperoleh suara mayoritas plural (kurang dari 50%+1) adalah menjadi minoritas dari totalitas suara yang ada. Jika demikian, kandidat yang terpilih sesungguhnya mewakili minoritas.
Disini, putusan MK yang menetapkan sistem suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih dapat dikatakan tidak sedang menegakkan kedaulatan rakyat apabila calon terpilih tidak mampu mencapai suara mayoritas absolut. Calon terpilih tetap saja mewakili minoritas pemilih meskipun dia mendapatkan suara terbanyak. Terlebih lagi pengalaman pemilu 2004 menunjukkan sangat jarang calon yang mampu mencapai suara mayoritas absolut.
Kritik kedua adalah adanya kekeliruan elektoralisme. Pengistimewaan perolehan suara kandidat di atas dimensi-dimensi lain sama halnya mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dalam kompetisi bebas pemilu. Pengistimewaan itu dapat menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu, seperti perempuan, minoritas etnis dan segmen-segmen sosial marginal lainnya, untuk meningkatkan representasi dan pembelaan kepentingan mereka dalam pembuatan kebijakan. Padahal eksistensi segmen-segmen sosial tersebut menjadi elemen penting dalam menutup kelemahan demokrasi prosedural.
Kita tidak dapat memukul rata bahwa mereka yang berada di nomor urut strategis adalah karena faktor kedekatan dan kemampuan ekonominya semata. Pada kasus-kasus tertentu, ada kearifan di sana. Terdapat beberapa partai politik yang sebenarnya secara diam-diam mencoba menerapkan ‘nalar demokrasi konsosiasional’ untuk melindungi segmen-segmen marginal tersebut.
Dengan sistem suara terbanyak, upaya perlindungan yang dilakukan oleh beberapa partai politik itu akhirnya akan tenggelam di rimba raya patriarkhi dan tirani mayoritas. ‘Nalar demokrasi konsosiasional’ dalam kandidasi menjadi tidak berguna. Disini, kelompok perempuan akan menjadi korban yang paling kelihatan dan mudah diidentifikasi dari penerapan sistem suara terbanyak. (Sigit Pamungkas, Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM).
Pernah dimuat di harian Kompas Nasional, Senin 19 Januari 2009
luar biasa bos satu ini. Sudah lancar menembus Kompas. Proviciate
bayu dardias
January 11th, 2010